Sabtu, 09 Oktober 2010

Tan Vs Pemberontakan 1926-1927

  • Tan Vs Pemberontakan 1926-1927

    Mestika Zed
  • Sejarawan Universitas Negeri Padang DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah.
    Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu.
    Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung.
    Pemberontakan yang gagal di dua tempat (Banten dan Sumatera Barat) pada 1926-1927 itu cukup mengguncang rezim kolonial di Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan onderbouw-nya, juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu penguasa kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap anasir pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses ini berjalan sampai akhir 1930-an.
    Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky-nya Indonesia. Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun (1899-1971), Alimin Prawirodirdjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897-?), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, awal 1926.
    Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Ibrahim Datuk Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.
    Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi "pemanasan" dan agitasi di tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada Alimin dan kawan-kawannya.
    Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926, terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis. Nyatanya memang demikian. PKI, yang didirikan pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau dibuang ke Digul.
    Kondisi ekonomi Hindia Belanda saat itu juga sedang membaik. Buruh cukup mudah mendapat pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan mempelajari bahasa Belanda dan menduduki kursi yang agak empuk sebagai juru tulis. Pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda dengan 1942-1945, ketika sebagian besar pabrik gula tutup, kebun-kebun binasa, mesin pabrik mati, rakyat tenggelam dalam penderitaan romusha Jepang. Pendek kata, gagasan pemberontakan di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku.
    Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan memikirkan diri dan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut.
    Pertama, selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir ke luar Indonesia, ia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal lelah "menjual" gagasannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang tak dijejakinya. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme. Ia hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secara diam-diam pada zaman Jepang (1942).
    Kedua, baginya partai hanyalah alat untuk mencapai perjuangan, yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas pemberontakan yang gagal itu, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927. Pari kemudian mati suri. Pada masa perang kemerdekaan (1947), ia mendirikan Partai Murba. Alasan keluar dari PKI lalu mendirikan Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan separtainya yang lama.
    Di lain pihak ia menentang kebijakan Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli memanfaatkan Komintern bagi kepentingan "hegemoni" internasional Uni Soviet ketimbang kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga cenderung mencurigai Pan Islamisme sebagai pesaing internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka.
    Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian karena pola asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian lain, karena memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis.
    Ketiga, Tan Malaka dianggap sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang konstruksi masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di masa depan. Lewat sebuah risalah berjudul Naar de Republiek Indonesia (Kanton, 1925) ia sudah membentangkan betapa pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan.
    "Ini harus kita cegah," tulisnya. "Akan tetapi tidak dengan [cara] memberi khotbah tentang hikmah-hikmah yang kosong. Hanya satu program yang benar-benar ingin memajukan kepentingan-kepentingan materiil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan secara jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas yang tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya..." (halaman 26, 28).
    Meskipun tak menyembunyikan pendirian Marxisnya, Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu. Pemikirannya lebih dini juga lebih radikal daripada Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian juga Soekarno yang menulis MIM (Menuju Indonesia Merdeka, 1933).
    Dalam pemikiran ketiga tokoh ini, gambaran tentang masa depan Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang masih memerlukan penyempurnaan sampai "cetak-biru" Indonesia Merdeka dapat dirumuskan, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu, sebab "aksi untuk mencapai kemerdekaan nasional ini," tulis Tan dalam Naar de Republiek Indonesia, "akan berlangsung lama, tetapi pasti membawa kemenangan (1925: 65).
    Sayangnya, Tan Malaka tak sempat melihat tahap akhir perjuangan kemerdekaan, karena ia tewas secara tragis. Ironis, karena setelah malang-melintang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu "dihujat dan dilupakan" oleh bangsanya sendiri.
    sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127955.id.html

jatuh-Bangun Gerakan Kiri di Indonesia

jatuh-Bangun Gerakan Kiri di Indonesia
OLEH BONNIE TRIYANA*


“Laiknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun.
Begitupun dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah!”.
(Kiyai Haji Achmad Chatib: menjelang pemberontakan komunis di Banten 1926)


MUNCUL pertanyaan dalam benak saya: masih pantaskah kita memperingati hari Kebangkitan Nasional di kala saudara kita di Aceh hidup dicekam ketakutan akibat “perang kusir” antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia? Dan mengapa 20 Mei selalu diperingati sebagai “hari raya” Kebangkitan Nasional?

Saya teringat kembali kisah Mahabrata yang menceritakan bahwa suatu ketika, para Pandawa yang masih muda belia, pergi belajar memanah. Ketika mereka diperintahkan untuk memanah seekor burung yang bertengger di dahan sebuah pohon, terlebih dahulu sang guru menanyakan, apakah yang mereka lihat? Lalu secara bergantian kelima saudara itu menjawab. Ketika giliran jatuh pada Arjuna, ia menjawab bahwa ia hanya melihat kepala burung, tidak ada yang lain. Hal itu dapat terjadi karena Arjuna memusatkan perhatiannya pada kepala burung belaka. Saking konsentrasinya, Arjuna tidak lagi melihat badan burung dan dahan tempatnya bertengger.

Cara kita melihat 20 Mei 1908 sebagai awal dari kebangkitan nasional tak ubahnya seperti Arjuna yang belajar membidik panah. Ia hanya melihat kepala burung,dan kita hanya melihat peristiwa ”20 Mei 1908”, seakan-akan kelahiran Boedi Oetomo (BO) itu ialah awal dari semuanya. Begitulah mitos jika digunakan untuk melihat sejarah. Jika peristiwa sejarah sudah dimitoskan maka yang lain hanya tampak sebagai gincu pemanis bibir.

Sebenarnya, seperti pernah dikemukakan oleh Prof Sartono Kartodirdjo, pidato Soetomo dalam Kongres Jong Java yang diselenggarakan oleh BO, 3 - 5 Oktober 1908, di ruang pertemuan sekolah guru di Jetis, Yogyakarta, memiliki dampak lebih besar bagi kebudayaan politik bangsa Indonesia, dibandingkan kongres pendirian BO sendiri. Selain itu, dalam pidato Soetomo tersebut, telah muncul sebuah kesadaran kolektif akan identitas sebagai kelas pribumi yang termarjinalkan. Maka, tidak berlebihan jika “peristiwa 20 Mei” yang selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional layak dipertanyakan kembali.

Namun, terlepas dari kepala burung yang dibidik oleh busur sang Arjuna, saya akan membahas perihal gerakan kiri dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Betapapun kaburnya pengertian “kiri” itu sendiri bagi kebanyakan orang.

Gerakan Kiri di Indonesia: Kelahiran dan Sepak Terjangnya.

Cikal bakal gerakan kiri di Indonesia diawali oleh berdirinya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914 di Surabaya. lalu tanggal 23 Mei 1920, ISDV telah berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Empat tahun kemudian, organisasi ini kembali mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini memusatkan kegiatannya di Semarang, hal ini membuat Semarang dikenal sebagai “ibukota Komunis pertama di Indonesia”.

Asal usul kaum kiri di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua nama besar, Henks Sneevliet dan Semaoen. Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet memulai kariernya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner. Pada saat di Belanda, ia memimpin sebuah pemogokan buruh galangan kapal di Amsterdam. Aktivitasnya itu membuat ia sukar mendapatkan pekerjaan, oleh sebab itu ia pergi menuju Indonesia untuk mencari penghidupan. Pekerjaanya yang pertama ialah sebagai staf editor Soerabajaasch Handelsblad. lalu, pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang untuk menggantikan posisi rekannya D.M.G Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging. Kemudian, pada tahun 1914, bersama dengan tiga orang rekannya J.A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV di Surabaya. Selain itu ia juga aktif di Vereeniging voor Spoor -en Traamwegpersoneel (VSTP) sebagai editor pada De Volharding, sebuah koran terbitan VSTP. Atas sarannyalah, VSTP terbuka bagi bumiputera dan bergerak radikal membela kepentingan pegawai-pegawai bumiputera yang miskin.

Figur kedua dalam gerakan kiri ialah Semaoen. Ia dikenal sebagai seorang anak didik Sneevliet yang cerdas. Lahir pada tahun 1899 di Mojokerto sebagai anak buruh kereta api. Ia bukanlah keturunan priayi, namun, karena dibesarkan pada zaman etis, ia turut mengenyam pendidikan dasar gaya Barat. Lulus dari Sekolah Bumiputera Angka Satu, di bergabung dengan Staatspoor (SS) pada tahun 1912 di usia tiga belas tahun. tahun berikutnya, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeling Surabaya. Berkat kecakapannya Semaoen langsung tampil ke depan sebagai sekretaris SI di Surabaya pada tahun 1914. Pada masa itulah, ia bertemu dengan Sneevliet dan terkesan akan “sikap manusiawi yang tulus” yang sama sekali terbebas dari “mentalitas kolonial” yang dimilikinya. Melalui Sneevliet, Semaoen mulai belajar menulis dan berbicara dengan bahasa Belanda. pada Juli 1916, ia pindah ke Semarang untuk menjadi propagandis VSTP dan menjadi editor SI Tetap, surat kabar VSTP yang berbahasa Melayu. Satu tahun setelahnya, ia kembali dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai propagandis dan komisaris SI Semarang pada usia 18 tahun. Setelah Sneevliet diasingkan, Semaoen mengambil alih kepemimpinan dalam partai.

Di awal pendiriannya, anggota ISDV didominasi oleh orang-orang Belanda. Didorong oleh keinginan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, pada 1915 - 1916 ISDV menjalin hubungan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 partai ini menerima anggota dari Indische Partij yang terdiri dari beberapa orang Indonesia yang radikal. Namun, kerjasama ini belum menjadi alat yang ideal untuk mengambil hati rakyat pribumi secara keseluruhan. Berdasarkan hal itu, ISDV mengubah haluannya ke SI, satu-satunya organisasi yang memiliki massa Indonesia terbanyak.

Dengan menggunakan cara ini, ISDV berhasil menggaet dukungan kelas pribumi yang pada umumnya ialah muslim nominal. Strategi ini dikenal sebagai “”blok di dalam” atau block within yang dikembangkan sejak tahun 1916 oleh ISDV untuk meraih dukungan dari massa Sarekat Islam (SI). Maksud dari taktik ini ialah mengembangkan propaganda dan koneksitas di antara massa dengan membuat semacam sel-sel di dalam tubuh partai induk. Namun begitu, di masa selanjutnya, strategi telah mendatangkan perseteruan antara SI dan PKI.

Dalam masa awal kebangkitan gerakan kiri, mencuat isu tentang Indie Werbaar (pertahanan Hindia). Indie Werbaar merupakan reaksi kecemasan pemerintah kolonial atas bangkitnya pan Asianisme yang dipimpin oleh Jepang dalam Perang Dunia I (1914 -1918). Demi mengamankan asetnya dari pengaruh negatif Perang Dunia I, pemerintah bermaksud untuk membentuk milisi pertahanan yang terdiri dari rakyat bumiputera. Menanggapi hal tersebut, muncul sikap pro dan kontra. Dalam pada itu, gerakan kiri yang dimotori oleh Semaoen, Darsono, Haji Misbach, dan Mas Marco berada di pihak yang kontra. Melalui pidato-pidato propaganda dan tulisan-tulisannya, mereka menentang keras kebijakan pemerintah itu. Mereka tak ingin rakyat pribumi menjadi korban sia-sia dari perjuangan yang tak pasti arahnya.

Dengan cepat isu ini berubah menjadi tuntutan untuk membentuk perwakilan rakyat pribumi. Gonjang-ganjing ini kemudian ditanggapi oleh parlemen Belanda dengan meluluskan permintaan untuk membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) dan menolak Indie Werbaar. Pada kenyataannya, Volksraad hanya diisi oleh orang-orang yang bersikap koorperatif pada kekuasaan dan menafikan kepentingan rakyat. Menanggapi hal itu, koran Sinar Djawa mengkritik pemilihan anggota Volksraad sebagai hal yang tak berguna bagi rakyat. Ketidakpuasan ini secara jelas menunjukan sikap kepedulian yang tinggi atas nasib bangsa pribumi. Dalam pandangan gerakan kiri, Volksraad harus benar-benar mewakili dan berjuang demi perbaikan nasib wong cilik. Di waktu selanjutnya, kritik-kritik tajam Semaoen dan kaum kiri lainnya tidak hanya dihujamkan kepada isu Volskraad saja, namun diperluas lagi menjadi kecaman-kecaman terhadap kapitalisme yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Kecaman-kecaman itu direalisasikan dalam berbagai bentuk, tidak hanya artikel, tapi juga dalam bentuk kisah yang sastrawi.

Misalnya pada tahun 1924, Mas Marco Kartodikromo, seorang nasionalis-komunis yang masih muda menulis sebuah kisah yang berjudul Semarang Hitam, yang potongan ceritanya sebagai berikut:

Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-kali dan pada saat yang lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat pada cerita yang dibacanya. Ia balikan halaman-halaman koran, berpikir mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang menghentikan perasaannya yang sangat menderita. Sekonyong-konyong ia mendapati sebuah artikel dengan judul:

KEMAKMURAN
Seorang gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan
karena kedinginan
Orang muda itu sangat tersentuh oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan…Suatu saat ia merasakan kemarahan yang bergejolak di dada. Saat lain ia merasa iba. Saat lain lagi kemarahannya terarah pada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan semacam itu, ketika membuat suatu kelompok kecil orang menjadi kaya.

Apa yang ditulis oleh Marco merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang kurang tanggap terhadap kehidupan kaum pribumi. Lebih jauh lagi, dari tulisan ini, Marco telah mengungkapkan kepincangan sistem sosial yang berlaku saat itu, ia juga secara implisit telah menegaskan siapa saya dan siapa engkau, “saya” di sini berarti pribumi dan “engkau” mengandung makna penguasa kolonial. Sama dengan Marco, sebelumnya Semaoen telah menulis kisah-kisah kepincangan sosial tersebut dalam cerita yang berjudul “Hikayat Kadiroen”.

Kerapuhan di balik Kekuatan: Islamisme versus Komunisme

PKI yang telah menjadi sebuah partai pribumi yang progresif, mengembangkan propaganda yang bersifat ke-Indonesia-an. Pada saat itu PKI kurang menekankan pada doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, namun Ia lebih memberikan perhatian pada propaganda yang berbasis kultural Jawa. Berbeda dengan pemerintah kolonial yang menetapkanya sebagai pemberontak, PKI menyebut Diponegoro, Kyai Maja, dan Sentot sebagai pahlawan dalam Perang Jawa. PKI juga menggunakan ramalan-ramalan yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil sebagai daya tariknya. Satu hal yang tampak sebagai sebuah keunikan pada periode ini, munculnya istilah Islam Komunis. Haji Misbach ialah salah satu tokoh muslim-komunis yang melegenda saat itu. Sebagai mubaligh lulusan pesantren, ia sering melakukan ceramah tentang Islam dan komunis, sehingga ia dikenal sebagai “Haji Merah”.

Namun PKI alpa, bahwa sebenarnya hubungan Islam dan komunis seibarat minyak dengan air, dapat dicampur, tapi tak mungkin bersatu. Di balik kekompakan mereka dalam menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, pertikaian ideologis telah merapuhkannya dari dalam. Dan tampaknya, atas dasar itulah Semaoen bermaksud mendirikan federasi antara 20 sarekat dagang yang berada di bawah naungan SI dengan 72.000 orang anggota PKI di bulan Desember 1919. Akan tetapi, sang “raja mogok”, yang juga pemimpin serikat sekerja dari Central Sarekat Islam (CSI), Surjopranoto, mempersoalkan kepemimpinan Semaoen sehingga bubarlah federasi itu. pertikaian antara Islam dan komunis semakin tak terbendung ketika pada bulan November 1920, sebuah terbitan PKI yang berbahasa Belanda, Het vrije woord (Kata yang bebas) menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme. Berbagai pihak berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak, termasuk oleh Tan Malaka. Namun, sia-sia belaka, akibat dari pertikaian ini SI terbelah menjadi dua bagian, SI merah dan SI Putih. Kemudian, SI merah diberi nama sebagai Sarekat Rakyat. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa strategi PKI dalam mencari massa ini telah menyebabkan pertikaian yang kronis antara SI dengan PKI.

Dan perpecahan tersebut tampaknya telah meningkatkan rasa permusuhan di semua pihak. Persaingan memperebutkan pengikut penduduk desa antar cabang-cabang SI dan cabang Sarekat Rakyat, telah menyeret PKI ke dalam lingkungan keras dan anarkis. Akhirnya PKI tergelincir dalam sebuah pemberontakan ketika organisasi ini tidak dapat memutuskan apakah harus membubarkan Sarekat Rakyat yang jumlah pengikutnya dari kelas non proletar semakin bertambah banyak. Suasana yang tidak menguntungkan bagi pergerakan nasional ini berlangsung cukup lama dan berlarut-larut. Gerakan kiri tejebak ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan, lebih-lebih setelah Semaoen, sang pionir kiri, mengalami nasib yang tragis; dibuang oleh pemerintah kolonial karena menyerukan pemogokan buruh tahun 1923.

Hutang Padi dibayar Padi, Hutang Darah dibayar Darah: Pemberontakan PKI 1926

Di tengah-tengah suasana yang carut marut, akibat ketatnya pengawasan penguasa dan konflik internal yang mulai merapuhkan gerakan kiri, sebuah pemberontakan disiapkan pada bulan Desember 1924. Sesunguhnya, aksi ini tidak mendapatkan restu dari Komintern di Uni Soviet, mengingat pemimpin PKI, Semaoen, dibuang karena kasus pemogokan besar-besaran buruh VSTP pada tahun 1923. Namun, beberapa pimpinan PKI yang tersisa, tetap bermaksud untuk “unjuk gigi” di hadapan penguasa kolonial.

Sebuah keunikan muncul dalam pemberontakan ini. Banten, sebuah daerah yang dikenal dengan daerah pengikut Islam yang ortodoks, juga turut memberontak atas nama PKI. Malah, di daerah ini pemberontakan komunis jauh lebih besar ketimbang tiga daerah lainnya, yakni Priangan, Batavia, dan Sumatera Barat. Khusus di Banten, pemberontakan komunis terjadi akibat para pemimpin tradisional, kyai dan jawara, merasa tidak puas dengan SI. Faktor lainnya ialah kesamaan sifat radikalisme yang dikandung, baik oleh PKI, maupun oleh rakyat Banten. Betapun hebatnya pemberontakan kaum kiri ini, akhirnya dapat ditumpas pada tangga 14 November 1926. sekitar 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak dan sebagian lain dijebloskan ke kamp di Boven Digul. Pemberontakan yang abortif ini sekaligus menandakan kehancuran gerakan kiri pada masa kolonial, untuk lalu kembali bergerak di masa selanjutnya.

Akhir Hayat Gerakan Kiri: Sebuah Penutup

Sebuah tahapan kebangkitan nasional ditutup oleh pemberontakan PKI tahun 1926. akan tetapi, sad ending yang menyakitkan ini bukan berarti menutup semua gerakan yang bertujuan merebut kemerdekaan Indonesia.

Kehadiran PKI di dalam kancah pergerakan nasional memberikan sebuah gambaran yang lebih jelas mengenai apa dan siapa sesungguhnya bangsa Indonesia itu. Gerakan kiri yang diwakili oleh PKI telah menyadarkan kaum pribumi sebagai sebuah bangsa tertindas oleh kapitalisme dan imperialisme Belanda.

Berdasarkan hal di atas, PKI telah menetapkan secara tegas identitas kelas pribumi. Lebih jauh lagi, dengan segala aksinya, baik melalui tulisan, pidato-pidato propaganda, aksi-aksi mogok dan pemberontakan melawan pemerintah kolonial, PKI telah mengangkat kaum pribumi menjadi lebih bermartabat.

Jika pada pemberontakan 1926 pemerintah kolonial memberangus gerakan ini dengan membuang dan membunuh pengikutnya, pada masa Orde Baru, gerakan kiri lagi-lagi dipersalahkan atas tragedi Gestapu 1965. Ribuan pengikut PKI ditangkap, dibuang, bahkan dibunuh secara biadab. Gerakan kiri tidak dapat lagi bernafas lega, ia terengah-engah dan sekarat, tergulung deras arus kapitalisme.

Kini, gerakan kiri tak lebih dari sebuah lulabi pengantar tidur yang merdu bagi anak-cucu kita. Tapi bagaimanapun, gerakan kiri tidak bisa dienyahkan begitu saja dari catatan sejarah pergerakan nasional Indonesia, mengingat perannya yang sangat signifikan dalam rangka membentuk konstruksi negara-bangsa Indonesia. Dan apa yang dilakukan oleh Orde Baru pada tahun 1965, tidak lain ialah kontinuitas rezim kolonial di masa yang lampau. Mungkin pepatah Perancis ada benarnya, histoire serepete!

Sekian, dan semoga saya salah.


BONNIE TRIYANA, lulusam Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro dengan skripsi tentang pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia di Purwodadi, Jawa Tengah.


sumber : http://www.mesias.8k.com/gerakankiri.htm

Jumat, 08 Oktober 2010

190 Tahun Multatuli

190 Tahun Multatuli (1)
Gugatan Eduard Douwes Dekker
Minggu, 04 April 2010 - 04:33:51 WIB

Max Havelaar, salju kecil yang menggelinding jadi besar.
ROMAN Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan.

Bulan Maret tahun ini, di negeri asalnya, Belanda, 150 tahun penerbitan roman Max Havelaar yang juga bertepatan dengan 190 tahun kelahiran penulisnya diperingati besar-besaran. Mengusung tema “Het is geen roman,’t is een aanklacht!” (ini bukan roman, tapi sebuah gugatan), Universitas Amsterdam menggelar serangkaian kegiatan dari pameran, seminar, sampai pemutaran film. Bahkan universitas ternama di Belanda itu mengajukan roman Max Havelaar ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia.

Dekker bukan ambtenar yang selalu membuat laporan palsu demi pujian dari atasan, atau hidup cari selamat demi gaji bulanan. Ia manusia yang benar pada tempat yang salah. Bukan saja penindasan sang bupati yang digugatnya, tapi juga kekuasaan kolonial yang membiarkan rakyat terus terhimpit kesusahan.

“Saya tak suka menggugat siapa pun, tapi kalau harus, biar dia kepala tentu saya akan gugat,” ujar Max Havelaar, menunjukkan sikap teguh berpendirian.

Menilai siapa Dekker tak sesederhana nalar malas yang percaya bahwa Belanda selalu penjajah dan pribumi selalu dijajah; Belanda selalu jahat sementara pribumi selalu benar. Memahami sejarah dalam beberapa soal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu sendiri. Bagaimana seorang Belanda bisa membela pribumi yang seharusnya dinistakan? Atau bagaimana bisa seorang kulit putih macam Eduard Douwes Dekker yang Protestan terenyuh atas penderitaan warga pribumi Banten yang gemar berontak di bawah panji sabilillah? Dalam posisi ini, Dekker seorang pengecualian.

Betapapun banyak komentar miring mengenai karya Dekker, mulai dari gaya bahasa yang buruk, tak berbakat, fiksi yang berdasar pada bualan belaka, sampai karya murahan dari seorang penulis yang tak berpengalaman, kenyataannya roman itu menimbulkan kegelisahan di kalangan kolonialis semenjak kali pertama terbit.

Karya Dekker, Max Havelaar, berdampak jauh dari yang mungkin ia pernah pikirkan. Segera setelah terbit, Max Havelaar menjadi bahan bagi segelitir orang di Belanda untuk menyerang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Salah satunya Robert Fruin. Terinspirasi Max Havelaar, ia menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jajahan. Dalam artikel itulah untuk kali pertama dikenal istilah “Baltig Slot” atau keuntungan dari program Cultuur Stelsel (tanam paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda.

Bola salju yang digelincirkan Dekker melalui romannya menggelinding kian membesar. Tulisan Fruin mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia Belanda yang menggagas politik etis seperti Van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids tahun 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda.

Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Belanda De Locomotief  yang berpusat di Semarang, giat menyuarakan perlunya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral pada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis Dalam Politik Kolonial”, yang kemudian menjadi awal mulai dikenalnya istilah “politik etis.” 

Perlahan-lahan, seiring makin deras arus gerakan kaum etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, gagasan etis mulai dilirik dan dipertimbangkan Ratu Wilhelmina. Pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Program itu terdiri dari tiga proyek: pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk penduduk.

Salah satu hal penting dalam program politik etis adalah ketersediaan sarana pendidikan buat kaum bumiputera. Benar bahwa program pendidikan dalam politik etis pada akhirnya hanya menciptakan insinyur-insinyur atau dokter-dokter tukang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ahli di perkebunan-perkebunan milik Belanda. Namun bagaimana pun program tersebut telah melahirkan kelompok baru dalam masyarakat Hindia Belanda, yang di kemudian hari menggerakkan kesadaran nasionalisme Indonesia.

Sukarno salah satunya. Ia sendiri menjadikan Max Havelaar sebagai inspirasi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Sebelum Sukarno, pejuang emansipasi perempuan RA Kartini pun membaca Max Havelaar dan mengatakan Multatuli sebagai penulis jenial pembela bumiputera yang tiada taranya dalam sastra Belanda.

Sumbangan berharga dari karya Dekker adalah kejujurannya memandang ketimpangan yang disebabkan oleh penjajahan, baik dilakukan sesama bangsa sendiri maupun penguasa pribumi yang feodal. Dekker telah menunjukkan solidaritasnya sebagai manusia yang mendambakkan keadilan tanpa memandang perbedaan warna kulit dan ras justru di saat susunan masyarakat dunia dikotak-kotakan berdasarkan prinsip-prinsip rasialisme.

Bagi Dekker, selama mereka menindas yang lemah, pejabat kolonial Belanda maupun pribumi adalah penjajah. Dan ia dengan baik menggambarkan suasana penjajahan itu, seperti terlihat dalam sebaris kalimat yang diungkapkan Max Havelaar: “Orang Jawa sebenarnya petani... Pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di selatan Prancis. Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan diri pemilik tanah (orang Jawa) itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh pada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka... Dan...mereka berhasil.” [BONNIE TRIYANA]

190 Tahun Multatuli (2)
Jalan Menuju Lebak
Minggu, 04 April 2010 - 04:26:55 WIB

Ia mencium ketidakberesan itu hanya beberapa minggu setelah menjabat asisten residen.
MULTATULI, nama pena Eduard Douwes Dekker, jengah menyaksikan pemerasan dan penganiayaan terhadap rakyat bumiputra oleh penguasa lokal. Sebagai orang Belanda, ia juga tak setuju dengan sikap pemerintah kolonial Belanda yang mendiamkan kezaliman itu.

Multatuli lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820. Ia memiliki saudara bernama Jan, kakek dari Ernest Douwes Dekker (Setiabudi). Ayahnya nakhoda kapal dagang yang berpenghasilan cukup. Karenanya ia bisa mengenyam pendidikan hingga universitas. Awalnya ia rajin sekolah. Tapi lama-lama ia bosan. Prestasinya anjlok. Ayahnya pun langsung mengeluarkannya dari sekolah dan menempatkannya di sebuah kantor dagang.

Pada usia 18 tahun, ayahnya mengajaknya berlayar ke Hindia Belanda dengan kapal “Dorothe”. Kapal itu berlabuh di Batavia pada 4 Januari 1839. Sebelas hari kemudian, ia mendapatkan pekerjaan sebagai klerk (setingkat juru tulis) di Algemen Rekenkamer. Setahun kemudian naik pangkat jadi Komisi kelas II.

Pada 1842, ia bekerja sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat. Gubernur Jenderal Sumatra Barat Andreas Victor Michiels mengirimnya ke kota Natal sebagai kontrolir (pengawas, setingkat di bawah asisten residen). Ia senang dengan kehidupan di kota terpencil itu. Tapi ia tak suka dengan tugas-tugasnya. Suatu ketika, atasannya yang melakukan pemeriksaan, menemukan adanya kerugian dalam kas pemerintahan. Ia diberhentikan sementara.

Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan. Akhirnya ia kembali ke Batavia; menjalani rehabilitasi dan mendapatkan “uang tunggu”. Sambil menunggu penempatan, ia menjalin asmara dengan Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen. Pada April 1846, ia mempersunting Tine –sebutan Everdine– di Cianjur, ketika ia sudah menjabat ambtenaar sementara di kantor Asisten Residen Purwakarta.

Kariernya merangkak naik. Pada 1846 ia diangkat jadi pegawai tetap. Pangkatnya dinaikkan menjadi Komis di kantor Residen Purworejo. Lalu Residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt mengangkatnya menjadi sekretaris residen, sebelum dipindahkan ke Manado. Puncaknya, ia menjadi asisten residen, jabatan nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, dengan penugasan di Ambon. Tapi ia tak cocok dengan Gubernur Maluku, yang bikin bawahannya tak punya inisiatif. Ia pun mengajukan cuti dengan alasan kesehatan dan berlibur ke Belanda bersama istrinya.

Menurut Moechtar dalam bukunya Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran (2005), pada masa itulah E. de Waal (kelak jadi Menteri Daerah Jajahan), yang masih ada hubungan keluarga dengan istrinya, memperkenalkannya dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist. Sejak itu, ia sering mendapat undangan dari istana dan berdiskusi dengan van Twist. Van Twist bersimpati. Ketika jabatan asisten residen di Lebak lowong, van Twist mengangkatnya pada 4 Januari 1856.

Di Lebak, ia berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Tapi ia menjumpai keadaan di Lebak sangat buruk. Rakyat menderita akibat aturan kerja rodi atau herendienst (kerja paksa). Pemerintah juga lagi giat-giatnya menjalankan tanam paksa (cultuurstelsel). “Penduduk Lebak dan sekitarnya pada umumnya berada dalam keadaan melarat dan sering timbul pemberontakan kecil-kecilan. Akibatnya sering terjadi penangkapan terhadap penduduk, penyiksaan, pembakaran kampung, dan pembunuhan besar-besaran oleh aparat yang berkuasa waktu itu,” tulis Moechtar.

Ia menaruh curiga pada Bupati Lebak Raden Adipati Kerta Natanegara. Ia mengajukan surat pengaduan mengenai tindakan Bupati Lebak dan menantunya, Demang Parungkujang Raden Wiranatakusuma. Ia juga melaporkan langsung ke van Twist, yang dipandang sebagai kawannya. Di luar dugaannya, van Kempen melaporkannya ke Raad van Indie (Dewan Hindia) agar ia dipecat.

Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 23 Maret 1856 No. 30, berisi peringatan dan pemberhentian Multatuli sebagai asisten residen serta pemindahannya ke Ngawi dengan pangkat lebih rendah. Ia pun secara resmi mengajukan perngunduran diri pada 29 Maret 1856. Jawabannya diterima lima hari kemudian, 4 April 1856.

Multatuli pun harus mencari pekerjaan lain.

Upayanya membersihkan administrasi pemerintah kolonial kandas. Ia mencari cara lain, agar dunia tahu apa kebobrokan sistem kolonial Belanda di tanah jajahannya. [HENDRI FISN]

190 Tahun Multatuli (3)
Lahirnya Karya Besar
Minggu, 04 April 2010 - 04:24:12 WIB

Multatuli identik dengan Max Havelaar. Padahal ia punya karya lain, yang tak kalah sukses.
SETELAH mengundurkan diri sebagai asisten residen Lebak, Multatuli mencari kerja namun gagal. Saudaranya, yang sukses berbisnis tembakau, meminjamkan uang untuknya agar pulang dan mencari pekerjaan di Eropa. Istri dan anaknya ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa ia bekerja sebagai redaktur sebuah suratkabar di Brusel, Belgia. Tak lama ia keluar. Usahanya bekerja sebagai juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga gagal. Mengadu nasib di meja judi justru membuatnya kian melarat.

Cita-citanya sebagai pengarang memberinya jalan. Ketika kembali dari Hindia Belanda, ia membawa berbagai manuskrip seperti naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika ia menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Pada September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, ia mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar, of de Koffie-veilingen der nederlandsche Handelsmaatschappij (Max Havelaar atau Pelelangan Kopi Perusahaan dagang Belanda). Buku itu, yang diedit penerbit tanpa sepengatahuan penulisnya, terbit pada 1860. Sontak, buku itu menimbulkan kegemparan di Belanda. Pada 1875, buku itu terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang mendapat pengakuan.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama pena Multatuli. Nama ini berasal dari bahasa Latin yang artinya “aku sudah banyak menderita”. Buku itu dijual di seluruh Eropa dan membuka kenyataan kelam Hindia Belanda.

Max Havelaar bukanlah karya satu-satunya Multatuli. Ketika Max Havelaar ditulis, ia menerbitkan karya prosa pertama, Keyakinan, yang menyajikan sikap kepercayaannya dalam bentuk sangat padat. Pada 1861, setahun setelah Max Havelaar terbit, ia menerbitkan Minnerbrieven (Surat-surat Cinta), yang berisi korespondensi dengan Fancy dan Tine. Tine adalah istrinya, sedangkan Fancy perempuan khayalan yang juga model perempuan muda yang ia dicintai. Surat-surat Cinta, meski judulnya tampak tak berbahaya, berisi kritik pedas berbentuk satir. Di dalamnya berisi serangkaian kisah perumpamaan yang cemerlang: sejarah-sejarah tentang kekuasaan dan dongeng-dongeng.

Ia juga menerbitkan Ideën (Ide-ide) antara tahun 1862 dan 1877. Kepada penerbitnya, ia menulis: “Saya akan menyampaikan kisah-kisah, cerita-cerita, sejarah-sejarah, kisah-kisah perumpamaan, catatan-catatan, kenangan-kenangan, paradoks-paradoks... Saya harap akan ada idenya dalam setiap kisah, dalam setiap keterangan, dalam setiap catatan itu. Jadi namakanlah karya saya itu: Ide-ide. Hanya itu. Dan tulis di atasnya: 'Seorang penabur benih pergi ke luar untuk menabur.’”

Di dalam Ideën terdapat fragmen-fragmen Woutertje Pieterse dan naskah drama Vorstenschool (Sekolah Raja-raja). Woutertje, dalam Woutertje Pieterse, yang pada dirinya dapat kita jumpai kembali sifat-sifat Eduard muda, adalah seorang pemuda yang berbakat dan perasa yang selalu berada dalam konflik dengan lingkungannya yang picik dan munafik, termasuk keluarganya sendiri. Sekolah Raja-raja mengupas hubungan antara raja dan rakyatnya. Naskah drama ini meraih sukses ketika dipentaskan.

Ada juga kisah yang mengingatkan kita pada masa tatkala Multatuli menjadi kontrolir di Sumatra Barat dalam Pengadilan Sulaiman.

Ketika menulis naskah drama, ia tinggal di Wiesbaden, Jerman. Ia tak punya uang, tak punya pekerjaan. Uang pensiunannya tak tersisa. Ia pun terkucil dari masyarakat. “Ia jadi gembel, saat berusia 48 tahun, di Jerman… setiap malam, ia makan kacang dari tanah. Dia jadi seperti barang rongsokan,” ujar Tom Böhm, dosen Sejarah Sastra, sebagaimana dituturkan kepada Junito Drias dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Maret 2010.

“Di jalan dia menukar Alkitab dengan buku roman kepahlawanan, pembela orang miskin. Ini menjadi tanda sejak kecil… dia peduli dengan masalah ketidakadilan,” ujar Tom Böhm.

Sejak 1877, ia tak lagi menerbitkan karya-karya baru. Selama beberapa tahun, ia masih melakukan perjalanan secara teratur dari Jerman, negeri tempatnya menetap, ke Belanda untuk mengemukakan pendirian-pendiriannya melalui ceramah-ceramah. Pada akhir hayatnya, ia lalui bersama istri keduanya, Mimi dan anak angkatnya, Wouter di rumahnya, yang diperolehnya sebagai hadiah dari para sahabat dan pengagumnya, di Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

“Dia mengidap penyakit asma dan meninggal saat tidur di kursi sofa,” kata Tom Böhm.

Setelah 123 tahun setelah wafatnya Multatuli, idenya masih tetap abadi. Di Belanda, Max Havelaar bahkan menjadi lambang bahan pangan yang dihasilkan dan dijual guna membantu perekonomian produsen kecil. [HENDRI]

190 Tahun Multatuli (4)
150 Tahun Max Havelaar
Minggu, 04 April 2010 - 04:20:43 WIB

Karya penting Multatuli diperingati di negerinya tapi diabaikan negeri yang pernah dibelanya.
DI Indonesia, tak ada peringatan untuk mengenang 150 buku Max Havelaar karya Multatuli. Di negeri Belanda, pada 2 Februari lalu, Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap menggelar pameran “150 tahun Max Havelaar.” Walikota Amsterdam Job Cohen dalam sambutannya mengatakan, “Dan kepada tuan saya mempersembahkan buku ini, Willem III, raja, adipati besar, pangeran dan kaisar dari Insulinde yang cantik dan kaya, Jamrud Khatulistiwa, karena di tempat itu lebih dari 30 juta rakyatmu dianiaya dan diperas atas nama tuan,” ujarnya sebagaimana dikutip Fediya Andina dari Radio Nederland Wereldom roep.

Demikianlah Job Cohen membaca halaman terakhir buku Max Havelaar, sewaktu pembukaan pameran 150 tahun Max Havelaar dengan tajuk “Ini Bukan Roman, Ini Sebuah Gugatan.” Gugatan atas tindak korupsi dan ketidakadilan yang dilakukan para pejabat Indonesia dan Belanda di Lebak, Banten.

Dalam pameran itu juga dipresentasikan penulisan baru buku Max Havelaar dalam bahasa Belanda sehari-hari. Menurut Asosiasi Multatuli, yang memberi proyek penulisan buku itu, hampir 40% isi buku yang lama ditiadakan, karena bahasanya dianggap terlalu sulit dan bertele-tele.

Gijsbert van Es, anggota redaksi harian NRC Handelsblad yang menggubah Max Havelaar menerangkan, tujuan menulisan kembali Max Havelaar terbitan terbaru ini ditujukan untuk generasi muda Belanda sekarang. Menurutnya, ini sebuah buku yang menentang pemerasan, penindasan, dan sebuah buku yang membela pemerintahan yang baik. Karena itu, Max Havelaar masih tetap hidup dan aktual hingga sekarang.

Universitas Amsterdam dan Multatuli Genootschap juga berencana mengajukan permohonan resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar buku Max Havellar masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO, lembaga PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Max Havelaar adalah karya terkemuka Multatuli, yang ia tulis berdasarkan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pengerjaannya terbilang cepat, hanya satu bulan. Pada 15 Mei 1860, novel tersebut diluncurkan oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam.

Dengan gaya tulisan yang satiris, Multatuli menceritakan budaya berdagang Belanda yang hanya mengeruk keuntungan. Multatuli menggugat pejabat kolonial yang korup dan memuji mereka yang berusaha mendobrak ketimpangan tersebut. 

Di Belanda, novel ini menggoncangkan pandangan umum mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya. Max Havelaar dianggap karya penting dalam sejarah sastra Belanda dan selalu menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah, hingga kini. Ia juga diakui sebagai karya sastra dunia. Hermann Hesse, penyair, novelis, dan pelukis Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, dalam buku Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya.

Di Indonesia, Max Havelaar dihargai karena inilah untuk kali pertama ada sebuah karya yang dengan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di Lebak, Banten. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Sejawaran Han Resink memberi penilaian berbeda tentang keistimewaan novel itu. "Sastra Jawa dan sastra Indonesia belum pernah melahirkan cerita percintaan dari kalangan rakyat jelata. Orang pertama di negeri ini yang pernah menuliskannya, dan bukan tidak berhasil, tak lain dari Multatuli dengan Saija dan Adinda," tulis Pramoedya Ananta Toer dalam “Multatuli”, mengenang pembicaraannya dengan Han Resink. 

Pram adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga yang terus memperkenalkan Multatuli. Bakri Siregar, rekan Pram di Lekra, sudah mengadaptasi novel Multatuli pada 1954. Dalam sidang para ketua Komite Perdamaian Pusat pada 1959, Pram mengajukan usul agar mengadakan peringatan ulang tahun 140 tahun Mutaltuli secara nasional dan mendirikan patungnya di tempat-tempat ia pernah membikin sejarah. Usul itu diterima. Delegasi dibentuk. Mereka menghadap Presiden Sukarno. Tapi Sukarno tak memberikan jawaban. Pembuatan patung urung dilakukan. Tapi Lekra tetap menggelar peringatan Multatuli. Bahkan pada 1964, Lekra mendirikan Akademi Sastra Multatuli. 

Pada 1972, HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa aslinya Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Setahun kemudian, Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard atas karya terjemahannya. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.

Karya Multatuli lainnya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Buah Renungan pada 1974. Penerjemahnya Asrul Sani, dengan memilih sebagian dari isi buku Volledige Werken, 7 jilid, karya Multatuli.

Novel Max Havelaar telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa dan difilmkan baik dalam bahasa Belanda maupun Indonesia. Di Indonesia, film Saijah dan Adinda merupakan produksi patungan Indonesia-Belanda, PT Mondial Film dan Fons Rademakers Produktive B.V. Biayanya 3 juta dolar, dengan masa pembuatan dua tahun (1974-1976). Tapi film ini tak lolos sensor. Badan Sensor Film (BSF) beralasan film ini terlalu meremehkan rakyat Banten, yang digambarkan sama sekali tak berkutik terhadap penjajah. BSF menghendaki revisi dengan menambahkan adegan yang menunjukkan semangat perjuangan. Hiswara Darmaputra, produser dan pemilik PT Mondial Film, tak mau kompromi. Saidjah dan Adinda pun tersimpan di gudang BSF. 

Uniknya, kopi yang dibawa Fons Rademakers, sutradara dan pemilik perusahaan film Fons Rademakers Produktive B.V., dibicarakan di mana-mana. Di lima kota besar (Los Angeles, San Francisco, Hong Kong, Johannesburg, dan Teheran) mendapatkan penghargaan. Bahkan pada 1978 film ini dipuji PBB sebagai "film terbaik yang dibuat negara ketiga". Akhirnya, pada 1987, setelah sebelas tahun, BSF meloloskan film itu, dengan mengganti judul Max Havelaar.

Orde Baru, yang sempat melarang film itu, akhirnya juga runtuh karena korupsi –satu topik yang dikupas dalam novel Max Havelaar. Sudah selayaknya masyarakat Indonesia mengapresiasi karya besar ini, untuk kembali melihat betapa merusaknya korupsi dan menderitanya rakyat Indonesia –kini, oleh pemimpinnya sendiri. [HENDRI]

190 Tahun Multatuli (5)
Siapa Peduli Rumah Multatuli?
Minggu, 04 April 2010 - 04:15:44 WIB

Hanya sebidang tembok yang tersisa dari rumah Multatuli. Sekelompok arsitek berupaya merekonstruksinya. Minim kepedulian. Saling menunggu.
RUMAH itu berdiri agak tersembunyi di balik bangunan baru Rumah Sakit Umum Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Rerumputan tumbuh liar di halaman.  Lantai berdebu, kaca nako merosot hampir lepas dari jepit penyangganya, meja-kursi yang tergeletak tak beraturan menambah kusam penampilan rumah. Rumah itu pun lebih menyerupai kantor yang lama tak digunakan ketimbang bekas kediaman asisten residen yang namanya terkenal ke seantero jagat: Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.

Kecuali sebidang tembok tua selebar kira-kira enam meter setinggi lima meter yang masih berdiri tegak ditambah batu bata merah berukuran 30 x 8 sentimeter menyembul pada pelur geligir atas yang rompal, tak lagi tanda-tanda guratan kisah masa lalu pada rumah itu. Genteng, tegel, kaca, kusen, daun pintu dan jendela bukan datang dari zaman saat Bupati Raden Adipati Karta Natanagara berkuasa di Lebak. Paling lama berusia setengah abad. “Kemungkinan besar bangunan asli sudah tak ada lagi,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia.

Eduard Douwes Dekker, bekas penghuni rumah itu, diangkat sebagai asisten residen Lebak pada 4 Januari 1856. Pemuda Belanda berusia 35 tahun itu mulai bertugas di Lebak sejak 22 Januari 1856 dan berhenti dua bulan setengah kemudian. Fisik bangunan rumah yang ditempatinya diyakini sudah punah, apalagi jika rumah yang pernah ditempati Dekker itu terbuat dari kayu.

“Ada informasi kalau dulu rumahnya panggung dan dibuat dari kayu. Cukup sulit merekonstruksi bangunannya, kecuali membongkar rumah dan melihat pondasinya. Itu pun masih diragukan. Tapi kami siap membantu merealisasikan gagasan pembangunan rumah Multatuli itu,” ujar Eryudhawan.

Pemerintah Daerah Lebak telah mengizinkan rencana rekonstruksi ulang rumah Multatuli. Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah mengatakan pemerintah Lebak menyambut baik upaya pihak Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia dan pemerintah Belanda yang berencana merekonstruksi rumah Multatuli. Namun demikian Amir mengatakan Pemda Lebak belum bisa turut mendukung pendanaan pembangunan ulang rumah bersejarah itu.

“Kami mendukung upaya pembangunan kembali rumah Multatuli, tapi kami belum bisa mendukung pendanaannya karena prioritas anggaran dana belum ada untuk kegiatan itu, kami menunggu kepastian dari pihak Pemerintah Belanda,” kata Amir.

Diskusi pembangunan ulang rumah Multatuli di Lebak memang telah lama berlangsung dan melibatkan beberapa pihak, termasuk Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Pada 2006 lampau Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Maria JA van der Hoeven yang mengunjungi situs rumah Mutatuli di Rangkasbitung berjanji akan mendukung pendanaan pembangunan memorial di atas rumah tersebut.

Sementara itu Kepala Bagian Pers dan Kebudayaan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta Paul Peters mengatakan pemerintah Belanda mendukung upaya pembangunan setelah ada hasil riset dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Banten di Serang. Hasil riset itu untuk menguatkan fakta sejarah bahwa di situs itu pernah berdiri rumah yang pernah ditempati oleh Douwes Dekker alias Multatuli.

“Pemerintah Belanda akan mendukung usaha pembangunan memorial Multatuli di Rangkasbitung. Tapi setelah BP3 mengeluarkan hasil risetnya. Dan kami sedang menunggu itu, ” kata Paul Peters.

Kepala BP3 Banten Imam Sunaryo melalui telepon mengatakan penelitian terhadap situs tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa waktu lalu. Penggalian untuk mengetahui pondasi awal rumah pun telah dilakukan oleh peneliti BP3.

“Kami sudah melakukan penelitian dan beberapa bulan lalu pernah mengunjungi situs itu. Lokasinya memang kurang bagus karena terletak di belakang gedung baru rumah sakit, dan kondisi situs rumah Multatuli itu pun memprihatinkan karena digunakan jadi gudang,” kata Imam. 

Berdasarkan pengamatan majalah-historia.com di situs rumah Multatuli di Rangkasbitung pekan lalu, belum terlihat kegiatan apa pun di sana. Keramaian hanya terjadi di gedung baru Rumah Sakit Umum dr.Adjidarmo. Sementara, bangunan rumah yang bersejarah itu hanya teronggok bak serpihan masa lalu yang tertinggal di zaman modern yang hiruk pikuk ini. [BONNIE TRIYANA]

Ganti Rugi Penjajahan


Ganti Rugi Penjajahan
Jumat, 13 Agustus 2010 - 20:08:02 WIB

Sebagai negara terjajah, Indonesia berhak meminta ganti rugi pada penjajah. Dari Jepang, dapat pampasan perang. Sedangkan dari Belanda hanya kata maaf.
PADA suatu waktu, ketika berada di Jepang, secara berkelakar Hermawan Kartajaya pernah bertanya kepada Kikuchi-San dari JVC: “Berapa kira-kira ‘sumbangan’ Indonesia pada masa pendudukan Jepang dahulu terhadap pembangunan jalan mengilat yang bertumpuk-tumpuk serta terowongan bawah tanah yang banyak terdapat di Tokyo itu?” 

Sambil tersenyum, Kikuchi-San menjawab bahwa orang Jepang, terutama generasi muda, memang mempunyai kenangan pahit terhadap dampak “militerisme” negaranya pada masa lalu. “Karena itu, Jepang merasa mempunyai kewajiban ‘moral’ untuk membayar pampasan perang kepada seluruh negara yang pernah menjadi koloninya,” kata Kikuchi-San kepada Hermawan Kertajaya dalam Marketing Klasik Indonesia.  

Pada pertengahan tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai suatu pertemuan di San Francisco untuk merundingkan Perjanjian Damai dan Pampasan Perang dengan Jepang –lebih dikenal dengan Perjanjian San Francisco, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Beberapa negara, termasuk Indonesia, diundang.

Kabinet Sukiman-Suwirjo yang kala itu berkuasa terpecah, terutama antara kelompok Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menganggap tak jelas manfaatnya, dan dan Masyumi yang melihat pertemuan itu bisa mengakhiri ganjalan dalam masalah Indonesia dan Jepang. “Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, bersedia hadir jika ada manfaatnya bagi Indonesia,” tulis Hadi Soesastro dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1945-1959).

Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo berangkat ke San Francisco. Tapi, pada 7 September 1951, beberapa jam sebelum acara penandatanganan, kabinet belum mencapai kata sepakat. Kabinet pun mengambil suara. Hasilnya: sepuluh menteri menyetujui Perjanjian Damai dan enam menteri menentang.

Pada 20 Januari 1958, menindaklanjuti hasil Perjanjian San Francisco, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral yang berisi kesepakatan ganti rugi. Antara lain pampasan perang senilai US$223,080 juta serta kesediaan Jepang menanamkan modal di Indonesia dan mengusahakan pinjaman jangka panjang sampai batas US$400 juta. Perjanjian Damai dan Pampasan Perang tersebut disahkan DPR RI tanggal 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958.

“Perjanjian pampasan tahun 1958 terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek… transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966.

Secara keseluruhan, lanjut Nishihara, proyek-proyek pampasan mengandung lebih banyak aspek negatif ketimbang aspek positif. Banyak proyek tak menerima dana cukup untuk menyelesaikannya akibat inflasi di Indonesia. Pampasan juga jadi lahan korupsi.

Jika Jepang mau membayar ganti rugi atas penjajahan selama 3,5 tahun, bagaimana dengan Belanda yang menjajah jauh lebih lama? Ironis, justru Indonesia yang harus membayar ganti rugi, dan dananya untuk membantu pembangunan Negeri Belanda.

Ini terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang memutuskan sebagai imbalan atas penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) pada 27 Desember 1949, Indonesia harus membayar utang kepada Belanda sebesar 4,5 milyar gulden –awalnya Belanda meminta 6,5 milyar gulden.

Selain itu, untuk membangun kembali pascaperang, Belanda mendapatkan gelontoran dana, dalam bentuk hutang, dari program Marshall Plan AS antara tahun 1948-1951 sebesar US$1.128 juta. Sumbangan dari Marshall Plan dan Indonesia ini dikenal sebagai The Miracle of Holland (keajaiban Belanda).

Indie verloren, betekende niet ramspoed geboren (Hindia hilang, bukan berarti tiba bencana). Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya meski tanah jajahan itu sudah lepas,” tulis sejarawan Lambert Giebels dalam “De Indonesische Injectie” (Sumbangan Indonesia), yang dimuat di De Groene Amsterdammer, Januari 2000.

Setelah membayar sekira 4 milyar gulden antara tahun 1950-1956, Indonesia secara sepihak membatalkan persetujuan KMB. Belakangan, pada awal Orde Baru, berdiri Inter Govenmental Group on Indonesia (IGGI), diketuai oleh Belanda, yang punya agenda tersembunyi berupa mencari penyelesaian utang Indonesia zaman Orde Lama, yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda, sekira US$2,4 milyar.

Giebels tak habis pikir, mengapa Belanda tega melakukan itu kepada Indonesia. Padahal kepada Suriname, yang juga bekas jajahannya, Belanda membayar lunas ganti rugi atas perbudakan sebesar 1,5 milyar euro begitu Suriname merdeka pada 25 November 1975. Jumlah itu dianggap belum cukup. “Suriname berhak mendapat ganti rugi senilai 50 milyar euro,” kata ekonom Suriname Armand Zunder kepada Philip Smet dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Juli 2010.

Zunder membandingkan kasus Suriname dengan kasus lainnya. Belanda minta ganti rugi dari Jerman setelah Perang Dunia II. Jerman membayar lebih dari 120 milyar euro untuk warga Yahudi. Organisasi Internasional DiversCités sudah berseru kepada Parlemen Prancis, juga negara-negara Eropa termasuk Belanda, untuk membayar ganti rugi kepada bekas jajahannya atas peran mereka dalam perbudakan. Pada 1999, di Afrika terbentuk The Africa World Reparations and Repatriation Truth Commission, sebuah komisi penyelidik internasional yang menuntut ganti rugi. Menurut hukum internasional, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Bagaimana dengan Belanda? Jangankan ganti rugi, permintaan maaf atas penjajahan dan aksi militer di masa lalu baru disampaikan pemerintah Belanda pada 2005. Mereka juga akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan lagi 27 Desember 1949.

Saat itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memutuskan tak akan minta ganti rugi. Alasannya diplomatis: banyak cara untuk memanfaatkan momentum penyesalan Belanda ke arah pembentukan hubungan RI-Belanda yang lebih menguntungkan Indonesia. Misalnya melalui kerjasama perdagangan, investasi, dan sosial-budaya. Cara tersebut dianggap lebih menjaga martabat bangsa Indonesia, negara yang tak mengeksploitasi penderitaan masa lalu untuk memperkaya diri.

Baik sekali ya Indonesia sama Belanda.[HENDRI F. ISNAENI]
sumber :histori

Mencari Wikana

Mencari Wikana (1)
Sepakterjang Pemuda dari Sumedang
Kamis, 19 Agustus 2010 - 01:23:10 WIB

Dia berperan penting pada hari-hari buncit menjelang proklamasi. Hidupnya berakhir tragis.
PADA lokasi bekas rumah bersejarah di jalan Pegangsaan Timur No. 56 berdiri sebatang tiang menjulang tinggi dengan simbol petir di pucuknya. Sederet kalimat tertera pada dasar tiang itu: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.” 

Enam puluh lima tahun lalu, sesosok pemuda kurus berambut klimis berkacamata minus mendatangi rumah bersejarah yang dulu masih berdiri tegak. Wikana, pemuda itu, ditemani pemuda lain, Aidit, kelak menjadi orang nomor satu Partai Komunis Indonesia (PKI), Darwis, Yusuf Kunto dan Soebadio Sastrosatomo. Kepada Bung Karno Wikana meyakinkan kalau kemerdekaan harus segera diumumkan malam ini juga, kalau tidak “besok akan terjadi pertumpahan darah,” kata Wikana setengah mengancam. Bung Karno tersinggung. Dia membentak balik Wikana seraya menantang menyembelih lehernya malam itu juga, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi!”

Cuplikan adegan itulah yang melambungkan nama Wikana sebagai pemuda revolusioner dan banyak dikutip di dalam kitab-kitab sejarah. Selebihnya, samar-samar. Padahal ada banyak peran penting lain yang dimainkannya. Dia pernah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, mulai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sampai Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Setahun setelah proklamasi, dia juga tercatat pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda selama empat kali periode kabinet, dua kali dalam kabinet Sjahrir dan dua kali pada kabinet Amir Sjarifuddin.

Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. “Dia datang dari keluarga perjuangan, kakaknya, Winanta seorang Digulis,” kata Soemarsono, tokoh pemuda angkatan ’45 yang ditemui pekan lalu (12/8) oleh Majalah Historia Online di kediaman putrinya di Bintaro, Jakarta Selatan. 

Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung. 

Selain menguasai bahasa Belanda, Wikana juga pandai bercasciscus bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan Rusia. Tati Sawitri Apramata, putri ketiga Wikana, mengenang ayahnya sebagai kutu buku yang pandai berbahasa asing. “Bapak bisa banyak bahasa, hobinya baca buku. Pulang dari sidang, selalu bawa buku, dari mana-mana selalu buku yang dibawa,” kenang perempuan berusia 61 tahun yang kini tinggal di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur itu. Sidang yang dimaksud Tati adalah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ayahnya menjadi anggota. 

Sosok Wikana yang cerdas dan tajam diamini oleh Soemarsono. Menurut lelaki yang pernah satu kos dengan Achmad Azhari, kawan sekerja Wikana, pemuda dari Sumedang itu dikenal sebagai orang yang tak banyak bicara, cerdas, dan tajam. Kepada Wikana pula Soemarsono sempat berguru soal teori-teori dalam dunia politik. “Dia yang mengajari saya tentang terminologi dan istilah-istilah dalam politik,” kata Soemarsono yang telah mengenal Wikana sebelum Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bukan saja Soemarsono, Aidit dan MH Lukman termasuk anak muda yang mengagumi pemimpin PKI Jawa Barat itu. 

Dua tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Wikana, bersama dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna sempat masuk kerangkeng atas tuduhan subversif terhadap pemerintah kolonial. Dia menyebarkan pamflet Menara Merah yang punya kaitan dengan PKI bawah tanah. PKI sendiri telah dilarang oleh pemerintah kolonial pascapemberontakan 1926. 

Trikoyo Ramidjo, salah satu anggota PKI yang sempat terlibat dalam upaya pembangunan kembali partai setelah Madiun affairs, mengatakan kalau Wikana memang anggota PKI bawah tanah. “Dia jadi anggota partai sejak tahun 1930-an, cita-citanya jelas sekali untuk kemerdekaan Indonesia,” ujar pria yang pernah melewati masa kecilnya di Boven Digul, Papua mengikuti ayahnya sebagai tahanan politik kolonial. 

Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal. 

Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta. Widartalah yang merekrut Aidit dan MH Lukman masuk PKI namun ironisnya harus mati karena keputusan internal partainya sendiri. Sohib Wikana itu diadili in absentia oleh Amir Sjarifuddin gara-gara menjalankankan kebijakan yang dianggap tak sejalan dengan garis partai pada peristiwa Tiga Daerah di wilayah karesidenan Pekalongan. Sebuah eksekusi di Pantai Parangtritis meringkus nyawanya. 

Berbeda dengan Widarta yang meregang nyawa di ujung bedil, karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu. 

Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto. Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Dia punya posisi yang lumayan terhormat: sebagai anggota MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan sejumlah aktivitas organisasi lainnya. Satu-satunya yang dia tak miliki adalah kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di dalam partai. 

Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana sebagaimana dikatakan oleh Abriyanto, cucu menantu yang beberapa waktu belakangan tekun menyusun biografi Wikana.

Wikana benar. Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya. [BONNIE TRIYANA]

Mencari Wikana (2)
Anak Menak Revolusioner
Kamis, 19 Agustus 2010 - 01:20:03 WIB

Lahir dari keluarga priayi bukan halangan untuk jadi pejuang. Sangat membenci penjajah. 
MUNGKIN Nonoh tak pernah menyangka kalau anak lelakinya itu kelak menjadi seorang pemuda yang punya peran menentukan dalam periode revolusi Indonesia. Dia lahir pada 16 Oktober 1914 di Sumedang, Jawa Barat sebagai anak keempatbelas dari enambelas bersaudara. Ayahnya Raden Haji Soelaiman, seorang pendatang Demak, Jawa Tengah.

Wikana lahir pada tahun yang sama ketika Belanda memperkuat pertahanan kota Sumedang dari serangan musuh. Pada masa Perang Dunia I (1914-1918) Belanda membangun benteng-benteng di sekitar kota Sumedang. Perjuangan politik bukan hal baru buat keluarga menak itu. Kakaknya Winanta, pernah ditahan di Boven Digul atas tuduhan terlibat pemberontakan komunis 1926. Wikana muda belajar politik pada Winanta yang menuangkan pengalamannya selama di Digul dalam buku “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul” yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita Dari Digul.

Menurut Ben Anderson, Wikana mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs).  “Setelah lulus dari MULO pada 1932, Wikana bergerak dengan penanya dalam mingguan Fikiran Rakjat di Bandung. Dia masuk menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo) cabang Bandung,” tulis mingguan Merdeka, 15 Mei 1947. Partindo merupakan pecahan dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pascapenangkapan Bung Karno. PNI-Baru yang lain didirikan oleh Bung Hatta dengan mengganti “Partai” menjadi “Pendidikan” sesuai dengan nafas politiknya. 

“Wikana (bersama Asmara Hadi, Soepeno, Sukarni, Goenadi, dan SK. Trimurti-Red) pernah menjadi anak didik Sukarno di Bandung (Sukarno bergabung dengan Partindo pada 1 Agustus 1932-Red),” tulis Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.

Wikana juga mempunyai hubungan erat dengan sekolah Taman Siswa di Jawa Barat. Bahkan, “Wikana merupakan produk Taman Siswa yang terkemuka,” tulis LK Hing dalam The Taman Siswa in Postwar Indonesia. 

“Wikana kemudian hijrah ke Surabaya pada 1935. Di sana dia memimpin mingguan Pedoman Masjarakat Baroe. Pada 1938, dia kemudian pindah ke Jakarta dan memimpin harian Kebangoenan. Pada tahun itu juga dia diangkat menjadi Penulis Umum II Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo),” tulis mingguan Merdeka, 15 Mei 1947.

Gerindo yang didirikan pada 24 Mei 1937 di Jakarta oleh Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin lahir setelah gerakan non-kooperatif yang dilancarkan Partindo dibubarkan pada November 1936, dan PNI-Baru lumpuh. Kandasnya gerakan non-kooperatif menimbulkan pemikiran baru yaitu gerakan kooperatif dengan Belanda untuk melawan ancaman fasisme, terutama fasisme Jepang.

Pada Kongres Gerindo pertama di Jakarta, 20-24 Juli 1938, AK Gani terpilih sebagai Ketua dan Amir Sjarifuddin sebagai Wakil Ketua. Dan pada Kongres Kedua, 24-30 Juli 1939 di Palembang, Amir Sjarifuddin terpilih menjadi Ketua dan Wilopo sebagai Wakil Ketua Komite Tetap.

Di bidang kepemudaan dibentuk Barisan Pemuda Gerindo setelah Juli 1938. Azas dari Barisan Pemuda Gerindo ini sama dengan Gerindo itu sendiri. Ia adalah pendukung dan pelaksana putusan-putusan Gerindo. “Wikana terpilih sebagai ketua pertamanya,” tulis Anderson.

Wikana kemudian diganti oleh Ismail Widjaja dan AM Hanafi sebagai Sekretaris Umum. “Saya menjabat Sekretaris Jenderal Pucuk Pimpinan Barisan Pemuda Gerindo sejak tahun 1939, menggantikan saudara Wikana yang didesak mengundurkan diri oleh Ketua PB. Gerindo Dr A.K. Gani karena tercium keradikalannya yang ‘komunistis’ demi untuk keselamatan dan kelangsungan perjuangan Gerindo,” kata AM Hanafi dalam bukunya AM Hanafi Menggugat.

Kira-kira satu tahun sebelum Jepang datang, Soemarsono kenal dengan Wikana karena kebetulan sama-sama berkegiatan di daerah Kemayoran. 

“Di Jakarta, bapak tinggal di Jalan Garuda,” kata Lenina.

Soemarsono kenal Wikana sekaligus kenal temannya yang juga anggota Gerindo, Achmad Azhari dari Palembang. Soemarsono yang baru mau masuk Gerindo juga kenal dengan teman Wikana yang lain, yaitu pelukis S. Sudjojono dan Hariyadi. 

“Ahmad Azhari dan Wikana satu tempat kerja sebagai tukang ketik di Percetakan Negara di Salemba. Azhari satu rumah sama saya. Saya banyak dengar mengenai Wikana dari Azhari. Azhari sangat menyanjung sekali Wikana. Wikana dianggap senior di antara pemuda-pemuda Gerindo. Wikana dianggap paling matang mengenai pengertian-pengertian perjuangan dan politik. Di kalangan pemuda pergerakan, Wikana memiliki pengaruh yang kuat. Ketokohannya satu level di bawah Amir Sjarifuddin,” kata Soemarsono.  

Saat Wikana menikahi Asminah binti Oesman di Kemayoran pada 1940, Soemarsono datang memberi selamat. “Dia dapat anak Sunter. Saya datang waktu perkawinan itu karena Azhari. Saya kasih salam dan perkenalan sama Wikana,” ujar Soemarsono.

Dari hasil pernikahannya, Wikana dan Asminah dikaruniai enam anak, yaitu Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria (alm.), Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin Pratapa, Rani Sadakarana, dan Remondi Sitakodana.

Pekerjaan sebagai organisatoris tak membuat Wikana alpa menulis. “Kalau sudah sampai di rumah, bapak pasti membaca dan menulis. Makan saja sampai dianter. Jadi kalau sudah namanya menulis, mengetik, dan baca buku, gak bisa diganggu,” kata Tati. 

“Bapak adalah pembelajar otodidak. Dia bisa bahasa Jerman, Inggris, Rusia dan Prancis. Kalau bahasa Belanda adalah bahasa komunikasi sehari-hari,” kata Lenina.

Lenina menambahkan, kegemaran bapaknya adalah membaca buku. “Kalau anaknya ulangtahun, hadiahnya pasti buku. Kami diajak ke toko buku untuk memilih sendiri buku yang disukai. Kalau saya suka buku biografi dan sejarah,” ujar Lelina.  

Melalui penanya Wikana menyebarkan gagasan-gagasan tentang pergerakan dan komunisme. Dia menulis Organisatie, Pengoempoelan Boeah Pena (Oesaha Penerbitan Tengara, 1947), Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka (bersama DN Aidit, Legiono, dan Badan Penerangan Pusat SBPI, 1948), Satu Dua Pandangan Marxisme (Revolusioner, 194?). Pada Oktober 1938, Wikana, Amir Sjarifuddin, Asmara Hadi, dan A.M. Sipahutar menjadi dewan redaksi dalam majalah bulanan politik Toedjoean Rakjat. 

Menurut Harry Poeze, Wikana juga aktif dalam surat kabar Menara Merah yang diterbitkan oleh PKI bawah tanah. Menara Merah menganut garis Moskow, yang menetapkan pembentukan front rakyat untuk membendung gerakan maju kekuatan-kekuatan totaliter Jerman dan Jepang. Menara Merah kemudian dilanjutkan oleh “generasi ketiga” PKI di bawah pimpinan Widarta dan K. Midjaja.

“Wikana bertugas menyebarkan Menara Merah di Jawa Barat, tapi penanggungjawab utama adalah Pamoedji yang telah menyuruh suratkabar ini dicetak di Surabaya. Pada bulan Juni 1940, satu eksemplar surat kabar ini disita. Dalam hubungan ini, Amir Sjarifuddin, Adam Malik, dan Wikana diduga tersangkut,” tulis Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1, Agustus 1945-Maret 1946.

“Wikana ditangkap oleh Belanda karena menyebarkan Menara Merah dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna,” tulis Anderson. 

Wikana tidak suka sama Belanda. “Karena bapak pernah ditempeleng sama orang Belanda,” kata Tati. Wikana bersama Sukarni, Adam Malik, dan lainnya dibebaskan dari penjara Cilacap setelah penyerahan Belanda kepada Jepang pada 8-9 Maret 1942. Sidik Kertapati mengenang Wikana sebagai orang yang dikenal lama oleh para pemuda pergerakan sejak sama-sama aktif dalam gerakan revolusioner zaman Belanda. Karena aktivitasnya, “Wikana selalu menjadi buronan politik dan sering keluar-masuk penjara di zaman kolonial Belanda,” tulis Sidik dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. [HENDRI F. ISNAENI]

Mencari Wikana (3)
Lakon dalam Pusaran Revolusi
Kamis, 19 Agustus 2010 - 01:16:22 WIB

Relasi Wikana yang luas di kalangan intelijen Jepang berhasil mengamankan pembacaan teks proklamasi.
KEMAYORAN, pada sebuah sore, 14 Agustus 1945. Beberapa pemuda berkumpul di sebuah kebun pisang dekat lapangan terbang Kemayoran. Saat itu Chaerul Saleh, Asmara Hadi, A.M. Hanafi, Sudiro, S.K. Trimurti dan Sajuti Melik berniat menemui Bung Karno dan Bung Hatta yang kabarnya akan mendarat dari Saigon, Jepang. Sesuatu telah membuat mereka gundah. Jepang telah kalah perang sementara kemerdekaan untuk Indonesia direken sebagai hadiah Jepang. 

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta menapakkan kaki keluar dari tangga dan berjalan menjauhi pesawat tiba-tiba para pemuda itu menghampiri keduanya.

“Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung bawa dari Saigon,” kata Chaerul Saleh

“Pokoknya kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap,” sahut Bung Karno.

“Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga Bung,” timpal Chaerul Saleh.

“Kita tidak bisa bicara soal itu di sini, Kempetai mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicarakan lagi,” tandas Bung Karno menutup percakapan.

Bung Karno dan Bung Hatta pergi begitu saja dan terkesan tak menghiraukan anak-anak muda itu. Mereka pun membubarkan diri kenang A.M. Hanafi dalam bukunya Menteng 31 Jembatan Dua Angkatan. Bola panas dari pertemuan itu masih terus bergulir pada beberapa jam ke depan. 

Dalam pertemuan itu Wikana tidak hadir. Dia masih berada di kantor Subardjo di jalan Kebon Sirih. Menurut Suhartono, dalam buku Kaigun Penentu Krisis Proklamasi, meski saat itu Subardjo termasuk golongan tua dan Wikana golongan muda, namun keduanya dikenal memiliki hubungan yang cukup dekat. Ketika Maeda meminta Subardjo untuk mendirikan sebuah asrama pendidikan pemuda-pemuda Indonesia yang kemudian diberi nama Asrama Indonesia Merdeka, Subardjo meminta Wikana untuk mengepalai Asrama itu yang terletak di Jalan Bungur Raya 56.  Di Asrama itu Wikana, atas permintaan Subardjo, mengadakan diskusi-diskusi politik dan kebangsaan yang  menghadirkan Sukarno, Mohammad Hatta, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Sjahrir, RP Singgih, J. Latuharhary, Maramis, dan Buntaran sebagai pembicaranya.

Malam harinya sekitar pukul 20.00 para pemuda yang sempat menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Kemayoran kembali berkumpul di belakang Eijkman Instituut (Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur No. 17 sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI-Red). Di sana pemuda dari kelompok Menteng 31 seperti Chaerul Saleh, Djohar Noer, Abu Bakar Lubis, Armansyah, dan Subadio Sastrosatomo sudah menunggu. Kali ini Wikana turut serta bersama Aidit. Mereka kembali membahas rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pada pukul 23.00 diputuskan untuk mengirim perwakilan pemuda menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Wikana dipilih menjadi ketua utusan sekaligus juru bicara. Pertimbangannya, dia dianggap sudah kaya pengalaman berorganisasi. Wikana pernah menjadi anggota Barisan Pemuda Gerindo, Laskar Jawa Barat, Angkatan Pemuda Indonesia. “Saat itu Wikana termasuk yang paling senior. Dia sudah menjadi top figure,” kata Soemarsono.

Bersama Chaerul Saleh, Subadio Sastrosatomo dan beberapa pemuda lain Wikana menuju kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Di sana rupanya sudah ada Bung Hatta, Subarjo, Iwa Kusumasumantri, Joyopranoto dan Buntaran. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya Wikana mulai melobi Bung Karno.

“Proklamasi kemerdekaan harus segera dibacakan,” kata Wikana

“Tunggu sebentar…” kata Bung Karno meminta pertimbangan tokoh-tokoh yang lain.

“… Kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-saudara,” Bung Hatta menantang.

“Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, di Jakarta besok akan terjadi pertumpahan darah yang amat dahsyat…”

Mendengar ucapan Wikana yang bernada ancaman, Bung Karno naik darah. Setengah melompat dia berdiri di hadapan Wikana.

“Ini batang leherku. Seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga jangan menunggu besok…” Wikana terkejut mendengar kekukuhan hati Bung Karno. Dia sebenarnya tidak bermaksud mengancam namun “Bung Karno salah paham,” kata Soemarsono

Dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, dia menceritakan alasan penolakannya. Saat itu Bung Karno merasa bahwa para pemuda belum memiliki kesiapan total bila sewaktu-waktu terjadi bentrokan fisik melawan kekuatan senjata Jepang. Sedangkan Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia mengatakan penolakan Bung Karno dan Bung Hatta karena keduanya tak ingin meninggalkan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah berada di Jakarta untuk rapat.

Yang jelas lobi Wikana gagal. Menjelang sahur pukul 1.30 dini hari para pemuda akhirnya undur diri. Mereka melanjutkan rapat ke Asrama BAPERPI (Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia), Jalan Cikini No. 71, tak jauh dari kediaman Bung Karno.

Saat itu asrama merupakan eksponen penting dalam merancang strategi-strategi perjuangan menuju kemerdekaan. Ada tiga asrama yang saat itu popular sebagai dapur dialektika kebangsaan, rapat-rapat rahasia, dan merancang strategi perjuangan. Asrama Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka, dan Asrama Cikini 71. Menurut Ben Anderson dalam buku Revolusi Pemuda, asrama menjadi tempat yang penting bagi sejarah pergerakan kaum muda Indonesia di zaman pendudukan Jepang.

Hasil rapat para pemuda kemudian memutuskan kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh rakyat, jangan menunggu kemerdekaan dari Jepang. Para pemuda juga berencana untuk menjauhkan Bung Karno dan Bung Hatta dari tangan Jepang. Para pemuda sepakat untuk membawa kedua tokoh keluar Jakarta, pilihan lokasi jatuh ke Rengasdengklok, Karawang.

Dari keterangan Sidik Kertapati dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 pukul 6.00 pagi sebuah mobil keluar dari Cikini 71 membawa beberapa orang yang akan menculik Bung Karno. Chaerul Saleh, Wikana, dan dr. Muwardi pergi ke Pegangsaan Timur No. 56 untuk membangunkan Sukarno dan menyiapkan keberangkatan. Sementara itu Sukarni dan Yusuf Kunto menuju kediaman Bung Hatta di Miyakodori (sekarang Jalan Diponegoro-Red).

Kepada Bung Karno Wikana mengatakan, “Situasi gawat dan tidak stabil Bung harus disingkirkan!”

“Lalu bagaimana dengan istri dan anakku.”

“Dibawa sekalian saja Bung. Segera kemasi barang-barang.”

Sementara itu, kelompok pemuda yang mendapat tugas mengambil Bung Hatta menggunakan dalih bahwa Bung Karno memanggil Bung Hatta karena ada situasi genting. “Para pemuda tahu Bung Hatta tidak bisa diancam apalagi ditakut-takuti makanya mereka menggunakan nama Bung Karno untuk membawanya,” tutur Soemarsono.

Tapi ternyata di Rengasdengklok para pemuda juga gagal membujuk Bung Karno dan Bung Hatta untuk membacakan proklamasi. Sementara itu di Jakarta muncul kepanikan karena hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta. Subardjo dan Sudiro kemudian membujuk Wikana untuk mengatakan di mana Bung Karno dan Bung Hatta berada. Setelah mendengar janji Subardjo untuk membantu melaksanakan proklamasi kemerdekaan Wikana akhirnya tak kuat hati untuk terus menyimpan rahasia. Kepada Subardjo dan Sudiro dia ceritakan di mana Bung Karno dan Bung Hatta disembunyikan.

“Nyanyian” Wikana ini sempat disesalkan oleh Chaerul Saleh dan A.M. Hanafi. “Saya dan Chaerul Saleh menggasak Wikana habis-habisan. Tapi mau apalagi?! Untunglah dia mengakui kesalahannya kalau tidak habislah namanya sebagai pejuang di mata kami,” kata A.M. Hanafi mengungkapkan kekesalannya.

Setelah mengetahui di mana Bung Karno dan Bung Hatta berada Subardjo langsung menjemput keduanya kembali ke Jakarta. Pada saat yang bersamaan beberapa pemuda yang memang sengaja ditinggal di Jakarta untuk memantau situasi mengadakan rapat dadakan. Saat itu hadir Wikana, A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar. Masing-masing membagi tugas untuk persiapan penyelenggaraan proklamasi. Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar bertugas menghubungi kantor berita Domei dan kantor Radio Hosokioku. Pardjono mengurus stensil dan penyebaran kabar proklamasi kemerdekaan. 

Sementara itu Wikana bertugas mengatur semua keperluan pembacaan proklamasi di rumah Bung Karno. Dia juga memastikan kesediaan Laksamana Maeda untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Wikana pulalah yang mengatur agar para Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk tidak mengganggu jalannya proklamasi. Melalui perantara Subardjo, Wikana memang punya hubungan luas di kalangan Jepang, tidak terkecuali di kalangan intelijen Kaigun. Karena perannyalah perhelatan proklamasi aman dari jamahan Kempetai yang bisa saja menghabisi para tokoh itu sewaktu-waktu. 

Dini hari 17 Agustus 1945 setelah kembali dari Rengasdengklok Bung Karno dan Bung Hatta langsung mengadakan rapat bersama beberapa tokoh pemuda lain di antaranya Sukarni dan B.M. Diah untuk merumuskan teks naskah proklamasi. Setelah dirasa pas, Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya menandatangani teks naskah proklamasi pada pukul 04.00 dinihari di kediaman Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Proklamasi baru dibacakan pagi hari pukul 10.00 di teras depan kediaman Bung Karno. Wikana sempat pula ketar-ketir karena si Bung Besar itu sedang kambuh sakit malarianya. Namun kekhawatirannya pupus ketika Bung Karno membacakan naskah proklamasi itu. Dan Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya.[JAY AKBAR]

Mencari Wikana (4)
Saujana Merdeka Menteri Sederhana
Kamis, 19 Agustus 2010 - 01:13:27 WIB

Sempat menduduki beberapa jabatan penting. Hatta mendepaknya karena dia orang kiri.
SOSOKNYA tak terlalu tinggi. Kumis tipis melintang dan jenggot lumayan panjang menghiasi wajah tirusnya. Hanya kacamata bundar dan pakaian sederhana yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi. Gaya hidupnya bersahaja. Namun sosok pendiam itu memiliki peran yang tidak sedikit dalam hari-hari di sekitar revolusi 17 Agustus. Tekadnya dalam berjuang memerdekakan rakyat begitu kuat. “Rakyat kita belum merasakan benar apa kemerdekaan itu,” ujar Ibrahim Isa, mengutip keterangan Wikana kepada Fransisca C. Fanggidaej –orang yang pernah menumpang di rumah dinas Wikana di Solo– suatu waktu.

Nama Wikana hampir dilupakan orang selama puluhan tahun. Pria kelahiran Sumedang, 16 Oktober 1914, ini tak diketahui nasibnya setelah diculik oleh kawanan tentara tak dikenal pada medio 1966. Jasa-jasanya bagi negeri seakan ikut sirna bersama jiwa-raganya yang hilang entah ke mana.

Tak lama setelah proklamasi, pada 27 Agustus 1945 Wikana –pejuang dari golongan pemuda– terpilih menjadi salah seorang pengurus di dalam PNI (Partai Nasional Indonesia), partai negara yang didirikan dengan maksud sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar rasa cinta, setia, dan bakti kepada tanah air. Namun kehadiran partai itu tak lama. Banyak pihak menentang kehadirannya, tak terkecuali Sjahrir.

Wikana lalu masuk ke dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) di mana dia menjadi ketua organisasi yang berdiri pada 1 September 1945 itu. Bersama Soemarsono, dia mewakili API ke Kongres Pemuda Pertama di Yogyakarta, 10-11 November 1945. Wikana ikut menjadi pembicara di samping Amir Sjarifuddin dan Adam Malik. Agenda terpenting kongres itu adalah rencana peleburan gerakan pemuda dalam satu organsisasi atas dasar prinsip-prinsip sosialis.

Pada 10 November malamnya, beberapa organisasi itu mengadakan rapat. Tujuh dari 29 organisasi yang ikut, sepakat untuk melebur diri ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sehari kemudian Pesindo bersidang. Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua. Sementara dari hasil kongres, Wikana terpilih menjadi pemimpin Dewan Pekerja Pembangunan. Dewan inilah yang bersama Dewan Pekerja Perjuangan pimpinan Soemarsono –pemimpin pemuda dalam Pertempuran 10 November– menyelenggarakan organisasi hasil kongres: Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI).

Pesindo sendiri dalam perkembangannya terus bergerak menjadi oposisi pemerintah presidensial. Saat Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memimpin kabinet, Pesindo tidak terlalu jelas pro atau kontra pemerintah. “Pesindo itu bukan partai,” ujar Soemarsono. “Pesindo hanya baju.” Di kemudian hari, organisasi ini ikut bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan –perkumpulan banyak organisasi, termasuk TNI, yang digagas Tan Malaka. Belakangan, ketika banyak perbedaan pandangan politik Amir-Sjahrir dengan Tan Malaka, Pesindo keluar dari Persatuan Perjuangan.

Konstelasi politik nasional masa itu sendiri memang rumit. “Revolusi,” sebagaimana ditulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, “merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri.” Persepsi Indonesia itu tidak sama dari masing-masing pihak. Dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-luar Jawa pun muncul dengan persepsi dan perannya sendiri-sendiri. Bukan saja menyebabkan tidak berjalannya roda pemerintahan sebagaimana mestinya, hal itu seringkali juga membawa republik ke tubir jurang perpecahan. Belum lagi, berbarengan dengan itu semua ancaman dari luar juga kian meninggi: keinginan Belanda kembali menguasai Indonesia. “Tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukanlah munculnya suatu bangsa baru yang serasi, melainkan suatu pertarungan sengit di antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang bertentangan,” tulis Ricklefs.

“Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu,” tulis Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Peran kaum muda terutama terlihat jelas dalam pertempuran-pertempuran yang banyak pecah di berbagai daerah tak lama setelah kedatangan NICA.

Partai Sosialis –yang merupakan fusi dari beberapa partai pada 17 Desember– dengan dimotori Sjahrir merasa kecewa terhadap pemerintah dalam memperlakukan KNIP, di mana di dalamnya Sjahrir memegang posisi tinggi. Partai Sosialis juga menggunakan sikap kehati-hatian pemerintah terhadap penguasa asing –Jepang maupun NICA– sebagai dalih untuk menuntut lebih. Partai Sosialis lalu mengajak para pemuda yang tidak puas terhadap pemerintah, terus mengkritisi pemerintah pusat. Tuntutan yang terpenting adalah pemberian wewenang ekstra kepada KNIP. 

Sebagaimana ditulis Ben Anderson, “pada awal Oktober ada suatu konsensus yang meluas di kalangan-kalangan yang sadar politik di Jakarta bahwa masa kelesuan dan kelambanan itu harus diakhiri, dan ia hanya dapat diakhiri dengan merombak pemerintah.” Pemerintah melalui Wapres Hatta lalu menyetujui dengan mengeluarkan Maklumat X tanggal 16 Oktober tentang wewenang legislatif KNIP dan dilanjutkan dengan Maklumat Pemerintah tentang partai politik. Sejak saat itu kabinet tak lagi bertanggung jawab langsung kepada presiden, tapi kepada KNIP. Tak lama kemudian, Kabinet Sjahrir naik “pentas” pada 14 November. Sjahrir yang anti-Jepang, dianggap tepat menjadi wakil republik dalam berunding dengan pihak Belanda.

Dalam masa-masa revolusi fisik yang karut marut itu, Wikana sempat menduduki beberapa jabatan penting. Dalam dua masa pemerintahan Sjahrir dan dua masa pemerintahan Amir Sjarifuddin, Wikana menduduki jabatan Menteri Negara Urusan Pemuda. Karena kesibukannya sebagai menteri, posisinya di BKPRI dia pasrahkan ke Soemarsono. “Pokoknya saya serahkan kuasa pembangunan ini kepada Bung,” ujar Somarsono mengutip ucapan Wikana.

Ketika menjabat menteri, Wikana tetap mencurahkan perjuangannya terhahap kemerdekaan rakyat. Melalui Ibrahim Isa Fransisca C. Fanggidaej mengatakan bahwa Wikana menyatakan tidak akan berhenti berjuang selama Indonesia belum merdeka betul. Cita-citanya hanya tertuju pada kemerdekaan. Hal itulah yang membuat anak-anaknya bangga. “Saya sangat bangga sekali jiwa nasionalisnya,” ujar putri sulungnya, Lenina Soewarti.

Dari jabatannya sebagai menteri, menurut Lenina, Wikana mendapatkan beberapa fasilitas. “Standar saja: rumah, mobil.” Namun fasilitas-fasilitas itu tidak membuat Wikana berubah gaya hidupnya. “Bapak saya itu sederhana sekali, sederhana sekali,” ujar Tati Sawitri, putri ketiga Wikana kepada Majalah Historia Online 15 Agustus lalu. 

Wikana tinggal di Yogyakarta ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Pemerintah sengaja memindahkan ibukota ke sana awal 1946 akibat kondisi keamanan di Jakarta yang tak menentu. Di ibukota “dadakan” itu diskusi mengenai perjuangan tetap Wikana lakukan. Terkadang dilakukan di rumahnya. Wikana juga sering menemui Presiden Sukarno.

Perundingan Linggarjati yang mengerdilkan wilayah RI, mengundang kekecewaan banyak pihak. Kondisi itu kian diperparah dengan dilancarkannya Agresi Militer I oleh Belanda di pertengahan 1947. Reaksi terkuat terutama datang dari militer dan kalangan Tan Malaka, yang menghendaki kemerdekaan 100 persen dan lebih memilih perjuangan fisik ketimbang diplomasi. Akibat perundingan-perundingan yang dilakukannya, Sjahrir sempat diculik tentara-tentara yang berafiliasi kepada Tan Malaka, meski akhirnya dibebaskan lagi. Tan malaka sendiri dipenjara akibat kehadirannya yang dianggap membahayakan lawan-lawan politiknya.

Ketika Kabinet Sjahrir ketiga jatuh dan Kabinet Amir Sjarifuddin naik menggantikan, kondisi politik kian kacau. Dari luar, Belanda terus mendesak RI sedangkan dari dalam, peseteruan antarkelompok perjuangan terus berlangsung. Kabinet Amir lalu jatuh karena menandatangani Perjanjian Renville. 

Kabinet Hatta kemudian menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin mulai awal 1948. Salah satu agenda pentingnya adalah kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara. Kebijakan ini didukung penuh Kolonel Nasution selaku panglima Divisi Siliwangi. Siliwangi pun menjadi pasukan reguler resmi pemerintah. Pada Februari, Siliwangi mulai hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Ini dilakukan sebagai pelaksanaan hasil keputusan dalam Perjanjian Renville.

Hijrahnya Siliwangi memicu timbulnya sengketa dengan pasukan-pasukan setempat. Pasukan-pasukan setempat merasa terdesak otonominya oleh kehadiran Siliwangi. Terlebih, para laskar itu merasa terancam oleh kebijakan Re-Ra. Siliwangi ditugaskan melucuti laskar-laskar, terutama laskar kiri. Akibatnya, situasi di Surakarta dan Madiun panas. Di Surakarta, Siliwangi terlibat pertempuran dengan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto. Pasukan laskar yang terus didesak terus berlari ke timur. Di Madiun, posisi laskar terdesak. Laskar-laskar yang terdesak itu merupakan laskar yang berafiliasi kiri, kepada Amir Sjarifuddin. Ketika Peristiwa Madiun pecah, posisi laskar dan kaum komunis di ujung tanduk. Siliwangi terus mengejarnya. Banyak dari pemimpin gerakan tewas di tangan tentara reguler. Jumlah yang tewas menurut Soemarsono, “sepenuhnya ada 3000 kader.”

Dalam kondisi yang penuh kekacauan itu Wikana menjabat sebagai Gubernur Militer Surakarta. Pemerintahan Hatta yang mengangkatnya. Di masa Gubernur Militer itu, banyak teman-teman perjuangan Wikana yang datang ke rumahnya. Sukarni salah satu di antaranya. “Chairul Saleh belakangan,” ujar Lenina Soewarti. Fransisca C. Fanggidaej juga pernah menumpang tidur di rumah dinasnya. Teman seperjuangannya, Soemarsono, jangan ditanya. “Saya sering tidur di tempat dia,” ujar Soemarsono. Menurut Soemarsono, Wikana termasuk kader atasan.

Tapi masa itu tidak lama. Wikana yang kiri, lalu diganti. “Yang memberhentikan juga Hatta,” ujar Soemarsono. Hatta terkenal sangat anti-kiri sedangkan Wikana orang kiri. Pemerintah lalu menggantinya dengan Kolonel Gatot Subroto. Wikana sempat menghilang pasca-Peristiwa Madiun 1948. Tidak jelas ke mana perginya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya. “Kita nggak ketemu dua tahun,” ujar Lenina. Dalam Kongres partai ke-4 tahun 1954, Wikana masuk ke dalam CC PKI. 

Tahun 1953 Wikana dipercaya menjadi anggota Konstituante. Tapi jejak rekamnya di badan pembuat Undang-Undang itu tidak banyak terungkap. Keluarganya pun tidak tahu. Terbuang dari partai, Wikana sempat menjadi anggota DPA pada 1963. Saat itu pula keluarganya diboyong ke Jakarta dari Solo. Selang dua tahun-an kemudian, atas ajakan Chairul Saleh, Wikana masuk menjadi anggota MPRS. Itulah karier terakhir pemuda berkumis tipis dan berwajah tirus sebelum akhirnya hilang tak tentu arahnya.[MF MUKTHI]

Mencari Wikana (5)
Tersisih dari Perahu Partai
Kamis, 19 Agustus 2010 - 01:08:06 WIB

Wikana tersingkirkan oleh para pengagumnya. Garis politik memisahkan mereka.
PERISTIWA Madiun 1948 menyudutkan PKI ke tubir jurang kehancuran. Partai berlambang palu-arit itu dituduh berada di belakang peristiwa yang disebut-sebut sebagai “pemberontakan” itu. Sebelas orang tokoh PKI ditembak, yakni Amir Sjarifuddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D. Mangku. Sebelum mereka dieksekusi, Musso telah terlebih dahulu ditembak mati oleh tentara.

Peristiwa itu melumpuhkan PKI. Partai yang sempat melancarkan perlawanan pada era kolonial itu harus menemui kenyataan diperangi oleh saudara sebangsanya sendiri saat negeri telah merdeka. Sebagian pengikut PKI kocar-kacir menyelamatkan diri. Aidit dan Lukman dua dari sekian komunis muda yang menyembunyikan diri di tengah hembusan gosip melarikan diri ke negeri Cina.

Dua tahun berselang setelah peristiwa Madiun, anak-anak muda PKI seperti Aidit, Njoto dan Lukman, yang tenar disebut “tiga serangkai”, mulai menggeliat, membangun partai yang sempat luluh lantak. Jalan terjal mereka tempuh. Tak mudah membangun partai dalam kondisi traumatik dan serbasulit. Partai punya tiga sampai dengan empat ribu anggota namun nyaris tak bisa berbuat apa-apa karena ketiadaan pemimpin. 

Pada 1950 mereka mulai menyusun serpihan kekuatan yang terserak: berupaya mengumpulkan anggota yang tercerai berai dan menerbitkan terbitan berkala partai, seperti Bintang Merah dan kemudian Harian Rakjat. Setelah kembali ke Jakarta, “Mereka berkumpul di sekitar kantor Bintang Merah yang menempati rumah Peris Pardede di gang Kernolong. CC PKI mereka tempatkan di Gang Lontar,” kata Murad Aidit dalam bukunya Aidit Sang Legenda.

Menurut sejarawan Hilmar Farid sejak Januari 1951 Aidit, Nyoto dan Lukman memulai pembangunan partai. “Sejumlah langkah dilakukan dengan agenda rebuilding, front persatuan yang luas, tuntutan moderat dan lain-lain untuk memperkuat posisi partai,” ujar Hilmar Farid melalui pesan singkatnya kepada Majalah Historia Online

Tapi kerja keras itu bukannya tanpa halangan sama sekali. Bahkan ada resistensi dari dalam, khususnya dari mereka yang tergolong sebagai “golongan tua”. “Tantangan besar lainnya yang mereka hadapi adalah sisa-sisa pimpinan lama termasuk Tan Ling Djie dan Wikana,” kata sejarawan yang kini tengah menempuh program doktor di National University of Singapore itu.  

Pengaruh Tan Ling Djie dan Wikana masih terlampau kuat untuk dipatahkan oleh triumvirat muda PKI. Ada perbedaan mendasar yang membuat konflik “golongan tua” versus golongan muda di bawah kepemimpinan Aidit, Njoto dan Lukman: “Aidit lebih kepada front persatuan di bawah Bung Karno sementara Tan Ling Djie cs. lebih cenderung memilih class struggle,” lanjut Farid. 

Tentangan keras juga datang dari Alimin, tokoh senior PKI yang mulai kehilangan taring pada usianya yang senja. Pada 1951, bertempat di rumah Trikoyo Ramidjo di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur, Aidit dan Lukman berdebat keras melawan Alimin ihwal strategi yang harus dijalankan oleh PKI. Alimin bersikeras bertahan pada pendapatnya bahwa MMC (Merapi Merbabu Complex) tak boleh dibubarkan karena berpotensi sebagai pendukung penting pembangunan partai. “Waktu itu Alimin tak mau membubarkan MMC karena menurut dia ada tiga hal yang harus diperkuat, yakni petani, partai itu sendiri dan tentara merah,” kata Trikoyo. Tentara merah yang dimaksud Alimin adalah MMC. Aidit dan Lukman pun tak kalah keras. “Mereka berdua menolak ide itu,” lanjut Trikoyo.  

Keterangan Trikoyo diamini oleh Murad Aidit lewat bukunya. Menurut Murad, Alimin marah besar terhadap garis yang ditempuh oleh Aidit cs. Aidit tak ambil peduli, mereka tetap menyiapkan penyelenggaraan kongres yang urung dilaksanakan. “Kongres baru terlaksana pada bulan Maret 1954, setelah segala persiapan untuk kongres itu dapat dipersiapkan. Kongres mengesahkan pimpinan yang terdiri central comite dan politbironya,” kata Murad Aidit. 

Friksi pun berlanjut. Golongan tua seperti Alimin, Tan Ling Djie dan Wikana didomestifikasi peranannya. Mereka diberi tempat dalam kepengurusan CC PKI, namun tanpa kuasa untuk mengambil kebijakan apapun. Kekuasaan partai terpusat di tangan Aidit, Njoto dan Lukman. Mereka bertiga menjalankan kendali tanpa harus menyingkirkan politisi tua, apalagi Aidit dan Lukman mengagumi sosok Wikana. 

“Tidak mungkin mereka disingkirkan, karena itu posisinya saja yang tidak penting. Soalnya bukan tua-muda tapi kontrol terhadap kader dan resources partai. Orang tua seperti Wikana dan Tan Ling Djie masih punya pengaruh kuat, karena itu mesti didomestifikasi,” kata Farid. 

Tapi keadaan itu tak berlangsung lama. Tan Ling Djie, rekan Wikana, dipecat dari PKI. Dia dianggap keras kepala dengan garis partai yang mengharuskan partai bekerja di bawah tanah sebagai partai pelopor. Tapi keputusan pemecatan itu urung dilakukan karena Tan Ling Djie menganggap hidup-matinya sudah ada di PKI. Dia tetap dikeluarkan dari CC tanpa dicabut keanggotaannya. Agaknya tak ada juga yang bisa diperbuat oleh Wikana dalam menghadapi keadaan internal partai yang telah sepenuhnya dikendalikan oleh trio Aidit, Lukman dan Njoto. 

Transisi kepemimpinan dari yang tua kepada yang muda pun dibumbui kabar tak sedap. Aidit cs. banyak disebut-sebut sebagian kalangan melakukan kup terhadap kepemimpinan partai tanpa menghiraukan kepemimpinan golongan tua. “Aidit dianggap kup terhadap kepemimpinan CC PKI yang lama seperti Wikana,” kata Soemarsono. 

Pendapat bahwa Aidit cs. melakukan kup dibantah oleh Hilmar Farid. Menurutnya sejak peristiwa Madiun praktis kepemimpinan PKI kosong. Oleh karena itu agak sulit untuk mengatakan kalau triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman melakukan kup.  “Trio sulit untuk dibilang kup karena pimpinan memang tidak ada. Mereka sendiri sudah jadi anggota CC per 1 September 1948, termasuk Wikana. Jadi yang tepat mungkin bukan kup tapi ambil alih karena pimpinan kosong dan bukan didongkel. Juga tidak ada serah terima karena tak ada yang menyerahkan,” kata Farid. 

Setelah berhasil mengurai benang kusut pada partai yang hampir tercerabut itu trio Aidit, Lukman dan Njoto mulai mendisiplinkan partai. Jejaring partai kembali diaktifkan dan semua lini partai difungsikan kembali. Di tangan mereka orientasi partai kembali digodok. Di bawah PKI, Aidit mendukung kebijakan anti kolonialis dan anti-Barat yang diusung oleh Bung Karno. 

Partai Komunis Indonesia berkembang pesat. Tangan dingin Aidit, Lukman dan Njoto yang rata-rata masih berusia 30-an tahun itu berhasil meraih simpati sejuta lebih rakyat Indonesia. Jerih payah mereka membawa PKI menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955.  

Suara garang Wikana pun semakin tenggelam di tengah derap langkah PKI yang semakin agresif meraup simpati rakyat. Tapi Wikana bukan Tan Ling Djie yang disingkirkan begitu saja. Dia masih punya posisi penting baik sebagai anggota MPRS maupun anggota DPA sebelum akhirnya tragedi politik pada 1965 menuntaskan kisah hidupnya. [BONNIE TRIYANA]

Mencari Wikana (6)
Berpisah di Jalan Dempo
Kamis, 19 Agustus 2010 - 00:59:02 WIB

Dikenang sebagai ayah yang hangat dan pendiam. Pergolakan politik memisahkannya dari keluarga. 
RUMAH yang terletak di Jalan Dempo No. 7A itu tak begitu besar dan lebih menyerupai paviliun. Ukurannya memanjang ke belakang dengan dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, ruangan kecil di bagian belakang, dan gudang. Semuanya serbakecil. Wikana menjadikan kamar tidur sekaligus tempat kerja. Pada rumah pemberian Chairul Saleh itu sederet pagar dan pintu berdiri cukup tinggi. 

Sejak Wikana terpilih menjadi anggota Konstituante pada 1955 dia harus tinggal di Jakarta. Di Konstituante dia mengetuai Komisi Perikemanusiaan. Pada tahun 1960, dia menjadi anggota MPRS dan DPA. 

Masih lekat dalam ingatan Tati Sawitri Apramata betapa bapaknya selalu sibuk untuk mengikuti berbagai persidangan. Namun sebagai anak dia tak pernah berani menanyakan apa pekerjaan bapaknya. “Anak zaman dulu mana berani nanya bapaknya kerja apa,” kenang Tati. 

Sebagai anggota MPRS dan DPA Wikana tentu sibuk bukan kepalang. Adakalanya sesekali dia bercerita kepada anaknya kalau Presiden Sukarno memanggilnya. Tapi Wikana yang pendiam itu tak banyak bercerita tentang isi pertemuannya, kepada siapa pun di rumahnya. Yang masih bisa diingat oleh Tati adalah kebiasaan bapaknya membawakan oleh-oleh buku tiap kali datang dari acara persidangan.

“Kadang-kadang saya dan adik-adik saya membuka-buka setiap lembar buku dan biasanya ada uang nyelip,” kata Tati diiringi derai tawa.

Wikana, dalam kenangan anak-anaknya, dikenal baik sebagai pria pendiam yang bersahaja. Kendati demikian dia selalu bersikap hangat kepada anak-anaknya. “Dulu saya masih ingat bapak maen berantem-beranteman sama saya,” kata Tati. 

Rumah di Jalan Dempo itu membawa kehangatan bagi seluruh anggota keluarga Wikana. Ketika beredar kabar rencana pengangkatan Wikana sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk Tanzania, Wikana menawarkan kepada anak-anaknya untuk ikutserta. Dia juga menawari Tati untuk berkuliah di luar negeri selulus dari SMA. “Kalau mau kuliah jangan ke Amerika atau Inggris, di sana cuma main-main saja. Lebih baik ke Jerman,” kata Wikana seperti ditirukan Tati. Mungkin ideologi anti-nekolim merasuki jiwa Wikana sehingga untuk menyekolahkan anaknya pun dia menjadikan dua negara itu tabu. 

Tapi mendadak semua kisah manis itu luluh lantak ketika sepulang mengikuti Hari Raya Nasional Cina 1 Oktober 1965 suasana politik bergolak. Tujuh perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh. Kabar beredar menyebut PKI ada di belakang insiden berdarah itu. Hidup Wikana di ujung tanduk. Berbeda dengan anggota delegasi lain yang tetap tinggal di Cina, Wikana memilih untuk pulang. Mungkin dia berpikir takkan disangkutpautkan dengan kejadian itu, terlebih perannya yang tak lagi sentral dalam PKI. Tapi Wikana salah. 

Chairul meminta KBRI segera mengurus kepulangan delegasi ke Jakarta. Rombongan bertolak dari RRT pada 5 Oktober dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober 1965. Sebelum berangkat pulang, Chairul meminta Wikana sebaiknya tak usah pulang dulu karena di Jakarta sedang tidak aman. Tapi, Wikana tak menghiraukan saran Chairul. Dia tetap ikut pulang. 

“Begitu sampai di Kemayoran dia segera disauk tentara, sekarang saya tidak tahu, saya tidak dengar lagi bagaimana nasibnya,” kata Chairul mengisahkan penangkapan Wikana kepada AM Hanafi seperti diceritakan dalam AM Hanafi Menggugat.

Menurut anak ketiga Wikana, Tati Sawitri Apramata, Wikana ditahan secara resmi di daerah Kramat. Petugas tentara dari Kramat datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, meminta keluarga untuk menjenguknya. Tati yang menemuinya. 

“Bapak perlu apa?” tanya Tati yang saat itu duduk di kelas 1 SMA 4 Jakarta.

“Tikar,” kata Wikana. 

“Bapak sehat-sehat saja?” tanya Tati.

“Sehat,” kata Wikana singkat.

Tidak seperti tahanan, Wikana diberikan kebebasan. “Sekitar dua malam diperiksa, lalu dikembalikan ke rumah,” kata Soemarsono.

Pada suatu sore menjelang magrib, tujuh bulan setelah penangkapan pertama, tiba-tiba datang tamu yang mencari kos. Padahal, di rumah Wikana tidak ada kosan. Sebelumnya Wikana sudah mewanti-wanti kepada anaknya agar jangan mengatakan kepada siapapun yang datang bahwa dia ada di rumah. “Tapi, kakak saya malah bilang bahwa bapak ada di rumah,” ujar Tati. 

Bencana datang seketika. Tengah malamnya, tak berapa lama setelah kedatangan si tamu tak diundang, tiba-tiba banyak orang melompati pintu pagar dan tembok rumah yang cukup tinggi. Tati terbangun. Dengan kasar, mereka menanyakan di mana bapaknya. “Mereka tentara semua, bawa senjata, tapi tak bisa dikenali,” kata Tati menahan tangis.

Wikana pun dicokok pada 9 Juni 1966. Sejak saat itu keluarga tak pernah mengetahui keberadaannya. “Sebelum dibawa, bapak minta dibungkusin sarung, celana, dan sikat gigi. Dia berpesan agar jaga ibu,” ujar Tati sambil terisak.

Tati tak tega melihat bapaknya digelandang. Dia hendak mengikutinya. Tapi tentara itu menodongkan senjata. “Kamu, anak kecil, ngapain ke luar,” kata salah seorang dari mereka.

“Saya mau lihat bapak saya ke depan,” kata Tati memberanikan diri.

“Masuk!” bentak salah satu dari mereka.

Menurut tetangga sekitar rumah, ada tiga mobil yang terparkir terpisah di depan rumah. Karena itu mereka tahu kalau yang menangkap Wikana lebih dari sepuluh orang. 

Malam itu juga, Asminah istri Wikana melaporkan kejadian penculikan suaminya ke Kodam Jaya dan Kostrad. Pihak Kodam Jaya dan Kostrad menyatakan bahwa malam itu tidak ada penangkapan. Dan setiap penangkapan harus ada surat penangkapan. “Memang pada waktu penangkapan pertama ada suratnya,” ujar Tati.

Kodam Jaya dan Kostrad pun membantu mencari Wikana. Namun, nihil. “Kami hanya mendengar desas-desus saja mengenai keberadaan bapak. Namun, nyatanya tidak ada,” ujar Tati. 

Menurut Soemarsono, tentara ada dalam setiap gerakan waktu itu. Memang semua bersumber dari tentara. Jadi, penangkapan-penangkapan itu pun bisa dipastikan dilakukan oleh tentara. “Walaupun bukan oleh tentara di belakangnya pasti adalah tentara,” kata Soemarsono. 

Setelah penculikan Wikana, setiap hari rumah di Jalan Dempo dijaga oleh sekitar sepuluh orang petugas keamanan dari Kostrad. Keluarga pun diberi surat jaminan keamanan oleh Panglima Kostrad Kemal Idris. Sesudah tidak dijaga lagi, banyak orang-orang militer yang datang. Mereka memaksa agar keluarga mengosongkan rumah Wikana. 

“Ibu tambah sakit. Yang menghadapi orang-orang militer itu saya dan adik-adik saya. Setiap mereka datang, saya tunjukkan surat dari Kostrad. Mereka pun tidak berani,” kata Tati.

Berbekal surat dari Kemal Idris, keluarga pun berhasil mempertahankan rumah itu hingga akhirnya dijual sekitar tahun 1996. “Karena ibu sudah tiada, saya putuskan untuk menjual rumah itu. Hasilnya dibagi rata untuk adik-adik saya,” kata Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, anak pertama Wikana. 

Pencarian anak-anak Wikana pun tak berakhir begitu saja. Tati dan Lelina sempat bertemu dan menanyakan kepada Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh mengenai keberadaan bapaknya. Tak ada yang mereka bisa perbuat kecuali membesarkan hati agar bersabar dan berdoa kepada Tuhan. “Ya sudah, kamu urus saja anak dan dampingi suamimu. Masalah itu jangan dipikirkan lagi,” kata Adam Malik ke Lenina. 

Tati berharap, kalau memang bapak meninggal di mana kuburannya. Kalau masih hidup, ada dimana? “Kadang-kadang ketika saya melihat pengemis-pengemis di jalanan dan kolong jembatan, saya suka teringat apakah mungkin bapak saya seperti itu. Siapa tahu di situ ada bapak saya,” ujar Tati.  

Setelah Wikana tiada, keluarga kehilangan penopang hidup. Dia tidak meninggalkan warisan. “Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Dia berjualan segala macam. Yang pernah saya lihat dia jualan es buah. Bahkan sempat menjual pot bunga untuk makan. Karena saya dan Tati sudah menikah, suami-suami kami membantu, meski tidak banyak,” kata Lenina.   

Seingat Tati, ada teman-teman bapaknya yang pernah membantu. “Seperti temannya dari Rusia.”

Wikana menyadari risiko perjuangannya. Dia tidak ingin apa yang dialaminya menimpa keluarganya. Dia pun berpesan, terutama ke anak perempuannya, agar tidak menikah dengan orang perjuangan karena khawatir hidup susah seperti yang dialaminya. “Tapi, jika bisa kuat seperti ibu dalam mendampingi bapak, ya, silakan,” kenang Lenina mengutip bapaknya. [HENDRI F. ISNAENI]
sumber : http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-301-sepakterjang-pemuda-dari-sumedang.html