- 11 Agustus 2008
Tan Vs Pemberontakan 1926-1927
Mestika Zed - Sejarawan Universitas Negeri Padang DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah.
Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu.
Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung.
Pemberontakan yang gagal di dua tempat (Banten dan Sumatera Barat) pada 1926-1927 itu cukup mengguncang rezim kolonial di Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan onderbouw-nya, juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu penguasa kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap anasir pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses ini berjalan sampai akhir 1930-an.
Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky-nya Indonesia. Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun (1899-1971), Alimin Prawirodirdjo (1889-1964), Musso (1897-1948), dan Darsono (1897-?), yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan, Solo, awal 1926.
Sebagai pemikir yang cemerlang dan otentik sejak masa mudanya, Ibrahim Datuk Tan Malaka memiliki cukup alasan mengapa pemberontakan harus dikesampingkan. Salah satu argumennya ialah bahwa kekuatan pergerakan belum cukup matang. Masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis.
Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu pemimpin-pemimpin gerakan memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi "pemanasan" dan agitasi di tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada Alimin dan kawan-kawannya.
Dari tempat persembunyiannya di Singapura, ia bahkan telah menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (1926, terbit ulang 1947). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan blunder yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis. Nyatanya memang demikian. PKI, yang didirikan pada 1920, hancur, dan aktivis partai meringkuk dalam penjara atau dibuang ke Digul.
Kondisi ekonomi Hindia Belanda saat itu juga sedang membaik. Buruh cukup mudah mendapat pekerjaan, sebagian pemuda mendapat kesempatan mempelajari bahasa Belanda dan menduduki kursi yang agak empuk sebagai juru tulis. Pelengah hidup seperti bioskop, sepak bola, dan dansa hula-hula mulai digemari. Ini berbeda dengan 1942-1945, ketika sebagian besar pabrik gula tutup, kebun-kebun binasa, mesin pabrik mati, rakyat tenggelam dalam penderitaan romusha Jepang. Pendek kata, gagasan pemberontakan di tengah situasi ekonomi yang membaik itu tak bakal laku.
Namun kegagalan pemberontakan itu tak lantas membuat Tan memikirkan diri dan partainya sendiri. Baginya justru jauh lebih penting memikirkan perjuangan mencapai kemerdekaan nasional. Ini antara lain dapat diilustrasikan dari fakta berikut.
Pertama, selepas dari penangkapan pada 1922, dan kemudian diusir ke luar Indonesia, ia sudah menjadi aktivis komunis yang tak kenal lelah "menjual" gagasannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hampir tak ada negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang tak dijejakinya. Ia juga pergi ke Moskow, jantung komunisme. Ia hidup sengsara di tempat persembunyiannya dan selalu dikejar-kejar polisi rahasia. Ia baru kembali ke Tanah Air secara diam-diam pada zaman Jepang (1942).
Kedua, baginya partai hanyalah alat untuk mencapai perjuangan, yakni kemerdekaan nasional bagi Indonesia. Selepas pemberontakan yang gagal itu, Tan Malaka keluar dari PKI dan mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di perantauan Bangkok pada 1927. Pari kemudian mati suri. Pada masa perang kemerdekaan (1947), ia mendirikan Partai Murba. Alasan keluar dari PKI lalu mendirikan Pari sangat jelas, yakni karena tak lagi sehaluan dengan rekan-rekan separtainya yang lama.
Di lain pihak ia menentang kebijakan Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Sejak 1920-an Moskow tampak lebih peduli memanfaatkan Komintern bagi kepentingan "hegemoni" internasional Uni Soviet ketimbang kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Komintern bahkan juga cenderung mencurigai Pan Islamisme sebagai pesaing internasionalnya, sesuatu yang tak bisa diterima oleh Tan Malaka.
Maka jelas kelihatan bahwa warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih kental daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Kedekatannya dengan kelompok Islam sebagian karena pola asuhan masa kecilnya sebagai orang Minang; sebagian lain, karena memang kelompok Islamlah yang lebih diandalkannya sebagai mitra pergerakan ketimbang kelompok nasionalis sekuler yang menurutnya cenderung berperilaku borjuis.
Ketiga, Tan Malaka dianggap sebagai satu dari tiga tokoh nasionalis yang pertama-tama menuangkan konsepsi tentang konstruksi masyarakat bangsa yang dibayangkan (the imagined community) di masa depan. Lewat sebuah risalah berjudul Naar de Republiek Indonesia (Kanton, 1925) ia sudah membentangkan betapa pentingnya persatuan dan betapa berbahayanya perpecahan.
"Ini harus kita cegah," tulisnya. "Akan tetapi tidak dengan [cara] memberi khotbah tentang hikmah-hikmah yang kosong. Hanya satu program yang benar-benar ingin memajukan kepentingan-kepentingan materiil dari seluruh rakyat dan dilaksanakan secara jujur, yang dapat membentuk solidaritas nasional, suatu solidaritas yang tidak hanya menggulingkan imperialisme, tetapi juga dapat menjauhkan segala gangguan untuk selama-lamanya..." (halaman 26, 28).
Meskipun tak menyembunyikan pendirian Marxisnya, Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community itu. Pemikirannya lebih dini juga lebih radikal daripada Mohammad Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Kemudian juga Soekarno yang menulis MIM (Menuju Indonesia Merdeka, 1933).
Dalam pemikiran ketiga tokoh ini, gambaran tentang masa depan Indonesia itu memang belum utuh. Ia baru merupakan anggitan yang masih memerlukan penyempurnaan sampai "cetak-biru" Indonesia Merdeka dapat dirumuskan, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 beberapa dasawarsa kemudian. Dan Tan Malaka menyadari itu, sebab "aksi untuk mencapai kemerdekaan nasional ini," tulis Tan dalam Naar de Republiek Indonesia, "akan berlangsung lama, tetapi pasti membawa kemenangan (1925: 65).
Sayangnya, Tan Malaka tak sempat melihat tahap akhir perjuangan kemerdekaan, karena ia tewas secara tragis. Ironis, karena setelah malang-melintang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri Indonesia, ia lalu "dihujat dan dilupakan" oleh bangsanya sendiri.
sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127955.id.html
Kliping Sejarah Nasional
Menghapus amnesia pada romantika perjalanan bangsa
Sabtu, 09 Oktober 2010
Tan Vs Pemberontakan 1926-1927
jatuh-Bangun Gerakan Kiri di Indonesia
jatuh-Bangun Gerakan Kiri di Indonesia
OLEH BONNIE TRIYANA*
“Laiknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun.
Begitupun dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah!”.
(Kiyai Haji Achmad Chatib: menjelang pemberontakan komunis di Banten 1926)
MUNCUL pertanyaan dalam benak saya: masih pantaskah kita memperingati hari Kebangkitan Nasional di kala saudara kita di Aceh hidup dicekam ketakutan akibat “perang kusir” antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia? Dan mengapa 20 Mei selalu diperingati sebagai “hari raya” Kebangkitan Nasional?
Saya teringat kembali kisah Mahabrata yang menceritakan bahwa suatu ketika, para Pandawa yang masih muda belia, pergi belajar memanah. Ketika mereka diperintahkan untuk memanah seekor burung yang bertengger di dahan sebuah pohon, terlebih dahulu sang guru menanyakan, apakah yang mereka lihat? Lalu secara bergantian kelima saudara itu menjawab. Ketika giliran jatuh pada Arjuna, ia menjawab bahwa ia hanya melihat kepala burung, tidak ada yang lain. Hal itu dapat terjadi karena Arjuna memusatkan perhatiannya pada kepala burung belaka. Saking konsentrasinya, Arjuna tidak lagi melihat badan burung dan dahan tempatnya bertengger.
Cara kita melihat 20 Mei 1908 sebagai awal dari kebangkitan nasional tak ubahnya seperti Arjuna yang belajar membidik panah. Ia hanya melihat kepala burung,dan kita hanya melihat peristiwa ”20 Mei 1908”, seakan-akan kelahiran Boedi Oetomo (BO) itu ialah awal dari semuanya. Begitulah mitos jika digunakan untuk melihat sejarah. Jika peristiwa sejarah sudah dimitoskan maka yang lain hanya tampak sebagai gincu pemanis bibir.
Sebenarnya, seperti pernah dikemukakan oleh Prof Sartono Kartodirdjo, pidato Soetomo dalam Kongres Jong Java yang diselenggarakan oleh BO, 3 - 5 Oktober 1908, di ruang pertemuan sekolah guru di Jetis, Yogyakarta, memiliki dampak lebih besar bagi kebudayaan politik bangsa Indonesia, dibandingkan kongres pendirian BO sendiri. Selain itu, dalam pidato Soetomo tersebut, telah muncul sebuah kesadaran kolektif akan identitas sebagai kelas pribumi yang termarjinalkan. Maka, tidak berlebihan jika “peristiwa 20 Mei” yang selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional layak dipertanyakan kembali.
Namun, terlepas dari kepala burung yang dibidik oleh busur sang Arjuna, saya akan membahas perihal gerakan kiri dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Betapapun kaburnya pengertian “kiri” itu sendiri bagi kebanyakan orang.
Gerakan Kiri di Indonesia: Kelahiran dan Sepak Terjangnya.
Cikal bakal gerakan kiri di Indonesia diawali oleh berdirinya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914 di Surabaya. lalu tanggal 23 Mei 1920, ISDV telah berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Empat tahun kemudian, organisasi ini kembali mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini memusatkan kegiatannya di Semarang, hal ini membuat Semarang dikenal sebagai “ibukota Komunis pertama di Indonesia”.
Asal usul kaum kiri di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua nama besar, Henks Sneevliet dan Semaoen. Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet memulai kariernya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner. Pada saat di Belanda, ia memimpin sebuah pemogokan buruh galangan kapal di Amsterdam. Aktivitasnya itu membuat ia sukar mendapatkan pekerjaan, oleh sebab itu ia pergi menuju Indonesia untuk mencari penghidupan. Pekerjaanya yang pertama ialah sebagai staf editor Soerabajaasch Handelsblad. lalu, pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang untuk menggantikan posisi rekannya D.M.G Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging. Kemudian, pada tahun 1914, bersama dengan tiga orang rekannya J.A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV di Surabaya. Selain itu ia juga aktif di Vereeniging voor Spoor -en Traamwegpersoneel (VSTP) sebagai editor pada De Volharding, sebuah koran terbitan VSTP. Atas sarannyalah, VSTP terbuka bagi bumiputera dan bergerak radikal membela kepentingan pegawai-pegawai bumiputera yang miskin.
Figur kedua dalam gerakan kiri ialah Semaoen. Ia dikenal sebagai seorang anak didik Sneevliet yang cerdas. Lahir pada tahun 1899 di Mojokerto sebagai anak buruh kereta api. Ia bukanlah keturunan priayi, namun, karena dibesarkan pada zaman etis, ia turut mengenyam pendidikan dasar gaya Barat. Lulus dari Sekolah Bumiputera Angka Satu, di bergabung dengan Staatspoor (SS) pada tahun 1912 di usia tiga belas tahun. tahun berikutnya, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeling Surabaya. Berkat kecakapannya Semaoen langsung tampil ke depan sebagai sekretaris SI di Surabaya pada tahun 1914. Pada masa itulah, ia bertemu dengan Sneevliet dan terkesan akan “sikap manusiawi yang tulus” yang sama sekali terbebas dari “mentalitas kolonial” yang dimilikinya. Melalui Sneevliet, Semaoen mulai belajar menulis dan berbicara dengan bahasa Belanda. pada Juli 1916, ia pindah ke Semarang untuk menjadi propagandis VSTP dan menjadi editor SI Tetap, surat kabar VSTP yang berbahasa Melayu. Satu tahun setelahnya, ia kembali dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai propagandis dan komisaris SI Semarang pada usia 18 tahun. Setelah Sneevliet diasingkan, Semaoen mengambil alih kepemimpinan dalam partai.
Di awal pendiriannya, anggota ISDV didominasi oleh orang-orang Belanda. Didorong oleh keinginan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, pada 1915 - 1916 ISDV menjalin hubungan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 partai ini menerima anggota dari Indische Partij yang terdiri dari beberapa orang Indonesia yang radikal. Namun, kerjasama ini belum menjadi alat yang ideal untuk mengambil hati rakyat pribumi secara keseluruhan. Berdasarkan hal itu, ISDV mengubah haluannya ke SI, satu-satunya organisasi yang memiliki massa Indonesia terbanyak.
Dengan menggunakan cara ini, ISDV berhasil menggaet dukungan kelas pribumi yang pada umumnya ialah muslim nominal. Strategi ini dikenal sebagai “”blok di dalam” atau block within yang dikembangkan sejak tahun 1916 oleh ISDV untuk meraih dukungan dari massa Sarekat Islam (SI). Maksud dari taktik ini ialah mengembangkan propaganda dan koneksitas di antara massa dengan membuat semacam sel-sel di dalam tubuh partai induk. Namun begitu, di masa selanjutnya, strategi telah mendatangkan perseteruan antara SI dan PKI.
Dalam masa awal kebangkitan gerakan kiri, mencuat isu tentang Indie Werbaar (pertahanan Hindia). Indie Werbaar merupakan reaksi kecemasan pemerintah kolonial atas bangkitnya pan Asianisme yang dipimpin oleh Jepang dalam Perang Dunia I (1914 -1918). Demi mengamankan asetnya dari pengaruh negatif Perang Dunia I, pemerintah bermaksud untuk membentuk milisi pertahanan yang terdiri dari rakyat bumiputera. Menanggapi hal tersebut, muncul sikap pro dan kontra. Dalam pada itu, gerakan kiri yang dimotori oleh Semaoen, Darsono, Haji Misbach, dan Mas Marco berada di pihak yang kontra. Melalui pidato-pidato propaganda dan tulisan-tulisannya, mereka menentang keras kebijakan pemerintah itu. Mereka tak ingin rakyat pribumi menjadi korban sia-sia dari perjuangan yang tak pasti arahnya.
Dengan cepat isu ini berubah menjadi tuntutan untuk membentuk perwakilan rakyat pribumi. Gonjang-ganjing ini kemudian ditanggapi oleh parlemen Belanda dengan meluluskan permintaan untuk membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) dan menolak Indie Werbaar. Pada kenyataannya, Volksraad hanya diisi oleh orang-orang yang bersikap koorperatif pada kekuasaan dan menafikan kepentingan rakyat. Menanggapi hal itu, koran Sinar Djawa mengkritik pemilihan anggota Volksraad sebagai hal yang tak berguna bagi rakyat. Ketidakpuasan ini secara jelas menunjukan sikap kepedulian yang tinggi atas nasib bangsa pribumi. Dalam pandangan gerakan kiri, Volksraad harus benar-benar mewakili dan berjuang demi perbaikan nasib wong cilik. Di waktu selanjutnya, kritik-kritik tajam Semaoen dan kaum kiri lainnya tidak hanya dihujamkan kepada isu Volskraad saja, namun diperluas lagi menjadi kecaman-kecaman terhadap kapitalisme yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Kecaman-kecaman itu direalisasikan dalam berbagai bentuk, tidak hanya artikel, tapi juga dalam bentuk kisah yang sastrawi.
Misalnya pada tahun 1924, Mas Marco Kartodikromo, seorang nasionalis-komunis yang masih muda menulis sebuah kisah yang berjudul Semarang Hitam, yang potongan ceritanya sebagai berikut:
Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-kali dan pada saat yang lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat pada cerita yang dibacanya. Ia balikan halaman-halaman koran, berpikir mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang menghentikan perasaannya yang sangat menderita. Sekonyong-konyong ia mendapati sebuah artikel dengan judul:
KEMAKMURAN
Seorang gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan
karena kedinginan
Orang muda itu sangat tersentuh oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan…Suatu saat ia merasakan kemarahan yang bergejolak di dada. Saat lain ia merasa iba. Saat lain lagi kemarahannya terarah pada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan semacam itu, ketika membuat suatu kelompok kecil orang menjadi kaya.
Apa yang ditulis oleh Marco merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang kurang tanggap terhadap kehidupan kaum pribumi. Lebih jauh lagi, dari tulisan ini, Marco telah mengungkapkan kepincangan sistem sosial yang berlaku saat itu, ia juga secara implisit telah menegaskan siapa saya dan siapa engkau, “saya” di sini berarti pribumi dan “engkau” mengandung makna penguasa kolonial. Sama dengan Marco, sebelumnya Semaoen telah menulis kisah-kisah kepincangan sosial tersebut dalam cerita yang berjudul “Hikayat Kadiroen”.
Kerapuhan di balik Kekuatan: Islamisme versus Komunisme
PKI yang telah menjadi sebuah partai pribumi yang progresif, mengembangkan propaganda yang bersifat ke-Indonesia-an. Pada saat itu PKI kurang menekankan pada doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, namun Ia lebih memberikan perhatian pada propaganda yang berbasis kultural Jawa. Berbeda dengan pemerintah kolonial yang menetapkanya sebagai pemberontak, PKI menyebut Diponegoro, Kyai Maja, dan Sentot sebagai pahlawan dalam Perang Jawa. PKI juga menggunakan ramalan-ramalan yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil sebagai daya tariknya. Satu hal yang tampak sebagai sebuah keunikan pada periode ini, munculnya istilah Islam Komunis. Haji Misbach ialah salah satu tokoh muslim-komunis yang melegenda saat itu. Sebagai mubaligh lulusan pesantren, ia sering melakukan ceramah tentang Islam dan komunis, sehingga ia dikenal sebagai “Haji Merah”.
Namun PKI alpa, bahwa sebenarnya hubungan Islam dan komunis seibarat minyak dengan air, dapat dicampur, tapi tak mungkin bersatu. Di balik kekompakan mereka dalam menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, pertikaian ideologis telah merapuhkannya dari dalam. Dan tampaknya, atas dasar itulah Semaoen bermaksud mendirikan federasi antara 20 sarekat dagang yang berada di bawah naungan SI dengan 72.000 orang anggota PKI di bulan Desember 1919. Akan tetapi, sang “raja mogok”, yang juga pemimpin serikat sekerja dari Central Sarekat Islam (CSI), Surjopranoto, mempersoalkan kepemimpinan Semaoen sehingga bubarlah federasi itu. pertikaian antara Islam dan komunis semakin tak terbendung ketika pada bulan November 1920, sebuah terbitan PKI yang berbahasa Belanda, Het vrije woord (Kata yang bebas) menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme. Berbagai pihak berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak, termasuk oleh Tan Malaka. Namun, sia-sia belaka, akibat dari pertikaian ini SI terbelah menjadi dua bagian, SI merah dan SI Putih. Kemudian, SI merah diberi nama sebagai Sarekat Rakyat. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa strategi PKI dalam mencari massa ini telah menyebabkan pertikaian yang kronis antara SI dengan PKI.
Dan perpecahan tersebut tampaknya telah meningkatkan rasa permusuhan di semua pihak. Persaingan memperebutkan pengikut penduduk desa antar cabang-cabang SI dan cabang Sarekat Rakyat, telah menyeret PKI ke dalam lingkungan keras dan anarkis. Akhirnya PKI tergelincir dalam sebuah pemberontakan ketika organisasi ini tidak dapat memutuskan apakah harus membubarkan Sarekat Rakyat yang jumlah pengikutnya dari kelas non proletar semakin bertambah banyak. Suasana yang tidak menguntungkan bagi pergerakan nasional ini berlangsung cukup lama dan berlarut-larut. Gerakan kiri tejebak ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan, lebih-lebih setelah Semaoen, sang pionir kiri, mengalami nasib yang tragis; dibuang oleh pemerintah kolonial karena menyerukan pemogokan buruh tahun 1923.
Hutang Padi dibayar Padi, Hutang Darah dibayar Darah: Pemberontakan PKI 1926
Di tengah-tengah suasana yang carut marut, akibat ketatnya pengawasan penguasa dan konflik internal yang mulai merapuhkan gerakan kiri, sebuah pemberontakan disiapkan pada bulan Desember 1924. Sesunguhnya, aksi ini tidak mendapatkan restu dari Komintern di Uni Soviet, mengingat pemimpin PKI, Semaoen, dibuang karena kasus pemogokan besar-besaran buruh VSTP pada tahun 1923. Namun, beberapa pimpinan PKI yang tersisa, tetap bermaksud untuk “unjuk gigi” di hadapan penguasa kolonial.
Sebuah keunikan muncul dalam pemberontakan ini. Banten, sebuah daerah yang dikenal dengan daerah pengikut Islam yang ortodoks, juga turut memberontak atas nama PKI. Malah, di daerah ini pemberontakan komunis jauh lebih besar ketimbang tiga daerah lainnya, yakni Priangan, Batavia, dan Sumatera Barat. Khusus di Banten, pemberontakan komunis terjadi akibat para pemimpin tradisional, kyai dan jawara, merasa tidak puas dengan SI. Faktor lainnya ialah kesamaan sifat radikalisme yang dikandung, baik oleh PKI, maupun oleh rakyat Banten. Betapun hebatnya pemberontakan kaum kiri ini, akhirnya dapat ditumpas pada tangga 14 November 1926. sekitar 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak dan sebagian lain dijebloskan ke kamp di Boven Digul. Pemberontakan yang abortif ini sekaligus menandakan kehancuran gerakan kiri pada masa kolonial, untuk lalu kembali bergerak di masa selanjutnya.
Akhir Hayat Gerakan Kiri: Sebuah Penutup
Sebuah tahapan kebangkitan nasional ditutup oleh pemberontakan PKI tahun 1926. akan tetapi, sad ending yang menyakitkan ini bukan berarti menutup semua gerakan yang bertujuan merebut kemerdekaan Indonesia.
Kehadiran PKI di dalam kancah pergerakan nasional memberikan sebuah gambaran yang lebih jelas mengenai apa dan siapa sesungguhnya bangsa Indonesia itu. Gerakan kiri yang diwakili oleh PKI telah menyadarkan kaum pribumi sebagai sebuah bangsa tertindas oleh kapitalisme dan imperialisme Belanda.
Berdasarkan hal di atas, PKI telah menetapkan secara tegas identitas kelas pribumi. Lebih jauh lagi, dengan segala aksinya, baik melalui tulisan, pidato-pidato propaganda, aksi-aksi mogok dan pemberontakan melawan pemerintah kolonial, PKI telah mengangkat kaum pribumi menjadi lebih bermartabat.
Jika pada pemberontakan 1926 pemerintah kolonial memberangus gerakan ini dengan membuang dan membunuh pengikutnya, pada masa Orde Baru, gerakan kiri lagi-lagi dipersalahkan atas tragedi Gestapu 1965. Ribuan pengikut PKI ditangkap, dibuang, bahkan dibunuh secara biadab. Gerakan kiri tidak dapat lagi bernafas lega, ia terengah-engah dan sekarat, tergulung deras arus kapitalisme.
Kini, gerakan kiri tak lebih dari sebuah lulabi pengantar tidur yang merdu bagi anak-cucu kita. Tapi bagaimanapun, gerakan kiri tidak bisa dienyahkan begitu saja dari catatan sejarah pergerakan nasional Indonesia, mengingat perannya yang sangat signifikan dalam rangka membentuk konstruksi negara-bangsa Indonesia. Dan apa yang dilakukan oleh Orde Baru pada tahun 1965, tidak lain ialah kontinuitas rezim kolonial di masa yang lampau. Mungkin pepatah Perancis ada benarnya, histoire serepete!
Sekian, dan semoga saya salah.
BONNIE TRIYANA, lulusam Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro dengan skripsi tentang pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia di Purwodadi, Jawa Tengah.
sumber : http://www.mesias.8k.com/gerakankiri.htm
OLEH BONNIE TRIYANA*
“Laiknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun.
Begitupun dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah!”.
(Kiyai Haji Achmad Chatib: menjelang pemberontakan komunis di Banten 1926)
MUNCUL pertanyaan dalam benak saya: masih pantaskah kita memperingati hari Kebangkitan Nasional di kala saudara kita di Aceh hidup dicekam ketakutan akibat “perang kusir” antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia? Dan mengapa 20 Mei selalu diperingati sebagai “hari raya” Kebangkitan Nasional?
Saya teringat kembali kisah Mahabrata yang menceritakan bahwa suatu ketika, para Pandawa yang masih muda belia, pergi belajar memanah. Ketika mereka diperintahkan untuk memanah seekor burung yang bertengger di dahan sebuah pohon, terlebih dahulu sang guru menanyakan, apakah yang mereka lihat? Lalu secara bergantian kelima saudara itu menjawab. Ketika giliran jatuh pada Arjuna, ia menjawab bahwa ia hanya melihat kepala burung, tidak ada yang lain. Hal itu dapat terjadi karena Arjuna memusatkan perhatiannya pada kepala burung belaka. Saking konsentrasinya, Arjuna tidak lagi melihat badan burung dan dahan tempatnya bertengger.
Cara kita melihat 20 Mei 1908 sebagai awal dari kebangkitan nasional tak ubahnya seperti Arjuna yang belajar membidik panah. Ia hanya melihat kepala burung,dan kita hanya melihat peristiwa ”20 Mei 1908”, seakan-akan kelahiran Boedi Oetomo (BO) itu ialah awal dari semuanya. Begitulah mitos jika digunakan untuk melihat sejarah. Jika peristiwa sejarah sudah dimitoskan maka yang lain hanya tampak sebagai gincu pemanis bibir.
Sebenarnya, seperti pernah dikemukakan oleh Prof Sartono Kartodirdjo, pidato Soetomo dalam Kongres Jong Java yang diselenggarakan oleh BO, 3 - 5 Oktober 1908, di ruang pertemuan sekolah guru di Jetis, Yogyakarta, memiliki dampak lebih besar bagi kebudayaan politik bangsa Indonesia, dibandingkan kongres pendirian BO sendiri. Selain itu, dalam pidato Soetomo tersebut, telah muncul sebuah kesadaran kolektif akan identitas sebagai kelas pribumi yang termarjinalkan. Maka, tidak berlebihan jika “peristiwa 20 Mei” yang selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional layak dipertanyakan kembali.
Namun, terlepas dari kepala burung yang dibidik oleh busur sang Arjuna, saya akan membahas perihal gerakan kiri dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Betapapun kaburnya pengertian “kiri” itu sendiri bagi kebanyakan orang.
Gerakan Kiri di Indonesia: Kelahiran dan Sepak Terjangnya.
Cikal bakal gerakan kiri di Indonesia diawali oleh berdirinya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914 di Surabaya. lalu tanggal 23 Mei 1920, ISDV telah berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Empat tahun kemudian, organisasi ini kembali mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini memusatkan kegiatannya di Semarang, hal ini membuat Semarang dikenal sebagai “ibukota Komunis pertama di Indonesia”.
Asal usul kaum kiri di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua nama besar, Henks Sneevliet dan Semaoen. Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet memulai kariernya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner. Pada saat di Belanda, ia memimpin sebuah pemogokan buruh galangan kapal di Amsterdam. Aktivitasnya itu membuat ia sukar mendapatkan pekerjaan, oleh sebab itu ia pergi menuju Indonesia untuk mencari penghidupan. Pekerjaanya yang pertama ialah sebagai staf editor Soerabajaasch Handelsblad. lalu, pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang untuk menggantikan posisi rekannya D.M.G Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging. Kemudian, pada tahun 1914, bersama dengan tiga orang rekannya J.A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV di Surabaya. Selain itu ia juga aktif di Vereeniging voor Spoor -en Traamwegpersoneel (VSTP) sebagai editor pada De Volharding, sebuah koran terbitan VSTP. Atas sarannyalah, VSTP terbuka bagi bumiputera dan bergerak radikal membela kepentingan pegawai-pegawai bumiputera yang miskin.
Figur kedua dalam gerakan kiri ialah Semaoen. Ia dikenal sebagai seorang anak didik Sneevliet yang cerdas. Lahir pada tahun 1899 di Mojokerto sebagai anak buruh kereta api. Ia bukanlah keturunan priayi, namun, karena dibesarkan pada zaman etis, ia turut mengenyam pendidikan dasar gaya Barat. Lulus dari Sekolah Bumiputera Angka Satu, di bergabung dengan Staatspoor (SS) pada tahun 1912 di usia tiga belas tahun. tahun berikutnya, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeling Surabaya. Berkat kecakapannya Semaoen langsung tampil ke depan sebagai sekretaris SI di Surabaya pada tahun 1914. Pada masa itulah, ia bertemu dengan Sneevliet dan terkesan akan “sikap manusiawi yang tulus” yang sama sekali terbebas dari “mentalitas kolonial” yang dimilikinya. Melalui Sneevliet, Semaoen mulai belajar menulis dan berbicara dengan bahasa Belanda. pada Juli 1916, ia pindah ke Semarang untuk menjadi propagandis VSTP dan menjadi editor SI Tetap, surat kabar VSTP yang berbahasa Melayu. Satu tahun setelahnya, ia kembali dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai propagandis dan komisaris SI Semarang pada usia 18 tahun. Setelah Sneevliet diasingkan, Semaoen mengambil alih kepemimpinan dalam partai.
Di awal pendiriannya, anggota ISDV didominasi oleh orang-orang Belanda. Didorong oleh keinginan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, pada 1915 - 1916 ISDV menjalin hubungan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 partai ini menerima anggota dari Indische Partij yang terdiri dari beberapa orang Indonesia yang radikal. Namun, kerjasama ini belum menjadi alat yang ideal untuk mengambil hati rakyat pribumi secara keseluruhan. Berdasarkan hal itu, ISDV mengubah haluannya ke SI, satu-satunya organisasi yang memiliki massa Indonesia terbanyak.
Dengan menggunakan cara ini, ISDV berhasil menggaet dukungan kelas pribumi yang pada umumnya ialah muslim nominal. Strategi ini dikenal sebagai “”blok di dalam” atau block within yang dikembangkan sejak tahun 1916 oleh ISDV untuk meraih dukungan dari massa Sarekat Islam (SI). Maksud dari taktik ini ialah mengembangkan propaganda dan koneksitas di antara massa dengan membuat semacam sel-sel di dalam tubuh partai induk. Namun begitu, di masa selanjutnya, strategi telah mendatangkan perseteruan antara SI dan PKI.
Dalam masa awal kebangkitan gerakan kiri, mencuat isu tentang Indie Werbaar (pertahanan Hindia). Indie Werbaar merupakan reaksi kecemasan pemerintah kolonial atas bangkitnya pan Asianisme yang dipimpin oleh Jepang dalam Perang Dunia I (1914 -1918). Demi mengamankan asetnya dari pengaruh negatif Perang Dunia I, pemerintah bermaksud untuk membentuk milisi pertahanan yang terdiri dari rakyat bumiputera. Menanggapi hal tersebut, muncul sikap pro dan kontra. Dalam pada itu, gerakan kiri yang dimotori oleh Semaoen, Darsono, Haji Misbach, dan Mas Marco berada di pihak yang kontra. Melalui pidato-pidato propaganda dan tulisan-tulisannya, mereka menentang keras kebijakan pemerintah itu. Mereka tak ingin rakyat pribumi menjadi korban sia-sia dari perjuangan yang tak pasti arahnya.
Dengan cepat isu ini berubah menjadi tuntutan untuk membentuk perwakilan rakyat pribumi. Gonjang-ganjing ini kemudian ditanggapi oleh parlemen Belanda dengan meluluskan permintaan untuk membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) dan menolak Indie Werbaar. Pada kenyataannya, Volksraad hanya diisi oleh orang-orang yang bersikap koorperatif pada kekuasaan dan menafikan kepentingan rakyat. Menanggapi hal itu, koran Sinar Djawa mengkritik pemilihan anggota Volksraad sebagai hal yang tak berguna bagi rakyat. Ketidakpuasan ini secara jelas menunjukan sikap kepedulian yang tinggi atas nasib bangsa pribumi. Dalam pandangan gerakan kiri, Volksraad harus benar-benar mewakili dan berjuang demi perbaikan nasib wong cilik. Di waktu selanjutnya, kritik-kritik tajam Semaoen dan kaum kiri lainnya tidak hanya dihujamkan kepada isu Volskraad saja, namun diperluas lagi menjadi kecaman-kecaman terhadap kapitalisme yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Kecaman-kecaman itu direalisasikan dalam berbagai bentuk, tidak hanya artikel, tapi juga dalam bentuk kisah yang sastrawi.
Misalnya pada tahun 1924, Mas Marco Kartodikromo, seorang nasionalis-komunis yang masih muda menulis sebuah kisah yang berjudul Semarang Hitam, yang potongan ceritanya sebagai berikut:
Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-kali dan pada saat yang lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat pada cerita yang dibacanya. Ia balikan halaman-halaman koran, berpikir mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang menghentikan perasaannya yang sangat menderita. Sekonyong-konyong ia mendapati sebuah artikel dengan judul:
KEMAKMURAN
Seorang gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan
karena kedinginan
Orang muda itu sangat tersentuh oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan…Suatu saat ia merasakan kemarahan yang bergejolak di dada. Saat lain ia merasa iba. Saat lain lagi kemarahannya terarah pada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan semacam itu, ketika membuat suatu kelompok kecil orang menjadi kaya.
Apa yang ditulis oleh Marco merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang kurang tanggap terhadap kehidupan kaum pribumi. Lebih jauh lagi, dari tulisan ini, Marco telah mengungkapkan kepincangan sistem sosial yang berlaku saat itu, ia juga secara implisit telah menegaskan siapa saya dan siapa engkau, “saya” di sini berarti pribumi dan “engkau” mengandung makna penguasa kolonial. Sama dengan Marco, sebelumnya Semaoen telah menulis kisah-kisah kepincangan sosial tersebut dalam cerita yang berjudul “Hikayat Kadiroen”.
Kerapuhan di balik Kekuatan: Islamisme versus Komunisme
PKI yang telah menjadi sebuah partai pribumi yang progresif, mengembangkan propaganda yang bersifat ke-Indonesia-an. Pada saat itu PKI kurang menekankan pada doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, namun Ia lebih memberikan perhatian pada propaganda yang berbasis kultural Jawa. Berbeda dengan pemerintah kolonial yang menetapkanya sebagai pemberontak, PKI menyebut Diponegoro, Kyai Maja, dan Sentot sebagai pahlawan dalam Perang Jawa. PKI juga menggunakan ramalan-ramalan yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil sebagai daya tariknya. Satu hal yang tampak sebagai sebuah keunikan pada periode ini, munculnya istilah Islam Komunis. Haji Misbach ialah salah satu tokoh muslim-komunis yang melegenda saat itu. Sebagai mubaligh lulusan pesantren, ia sering melakukan ceramah tentang Islam dan komunis, sehingga ia dikenal sebagai “Haji Merah”.
Namun PKI alpa, bahwa sebenarnya hubungan Islam dan komunis seibarat minyak dengan air, dapat dicampur, tapi tak mungkin bersatu. Di balik kekompakan mereka dalam menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, pertikaian ideologis telah merapuhkannya dari dalam. Dan tampaknya, atas dasar itulah Semaoen bermaksud mendirikan federasi antara 20 sarekat dagang yang berada di bawah naungan SI dengan 72.000 orang anggota PKI di bulan Desember 1919. Akan tetapi, sang “raja mogok”, yang juga pemimpin serikat sekerja dari Central Sarekat Islam (CSI), Surjopranoto, mempersoalkan kepemimpinan Semaoen sehingga bubarlah federasi itu. pertikaian antara Islam dan komunis semakin tak terbendung ketika pada bulan November 1920, sebuah terbitan PKI yang berbahasa Belanda, Het vrije woord (Kata yang bebas) menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme. Berbagai pihak berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak, termasuk oleh Tan Malaka. Namun, sia-sia belaka, akibat dari pertikaian ini SI terbelah menjadi dua bagian, SI merah dan SI Putih. Kemudian, SI merah diberi nama sebagai Sarekat Rakyat. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa strategi PKI dalam mencari massa ini telah menyebabkan pertikaian yang kronis antara SI dengan PKI.
Dan perpecahan tersebut tampaknya telah meningkatkan rasa permusuhan di semua pihak. Persaingan memperebutkan pengikut penduduk desa antar cabang-cabang SI dan cabang Sarekat Rakyat, telah menyeret PKI ke dalam lingkungan keras dan anarkis. Akhirnya PKI tergelincir dalam sebuah pemberontakan ketika organisasi ini tidak dapat memutuskan apakah harus membubarkan Sarekat Rakyat yang jumlah pengikutnya dari kelas non proletar semakin bertambah banyak. Suasana yang tidak menguntungkan bagi pergerakan nasional ini berlangsung cukup lama dan berlarut-larut. Gerakan kiri tejebak ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan, lebih-lebih setelah Semaoen, sang pionir kiri, mengalami nasib yang tragis; dibuang oleh pemerintah kolonial karena menyerukan pemogokan buruh tahun 1923.
Hutang Padi dibayar Padi, Hutang Darah dibayar Darah: Pemberontakan PKI 1926
Di tengah-tengah suasana yang carut marut, akibat ketatnya pengawasan penguasa dan konflik internal yang mulai merapuhkan gerakan kiri, sebuah pemberontakan disiapkan pada bulan Desember 1924. Sesunguhnya, aksi ini tidak mendapatkan restu dari Komintern di Uni Soviet, mengingat pemimpin PKI, Semaoen, dibuang karena kasus pemogokan besar-besaran buruh VSTP pada tahun 1923. Namun, beberapa pimpinan PKI yang tersisa, tetap bermaksud untuk “unjuk gigi” di hadapan penguasa kolonial.
Sebuah keunikan muncul dalam pemberontakan ini. Banten, sebuah daerah yang dikenal dengan daerah pengikut Islam yang ortodoks, juga turut memberontak atas nama PKI. Malah, di daerah ini pemberontakan komunis jauh lebih besar ketimbang tiga daerah lainnya, yakni Priangan, Batavia, dan Sumatera Barat. Khusus di Banten, pemberontakan komunis terjadi akibat para pemimpin tradisional, kyai dan jawara, merasa tidak puas dengan SI. Faktor lainnya ialah kesamaan sifat radikalisme yang dikandung, baik oleh PKI, maupun oleh rakyat Banten. Betapun hebatnya pemberontakan kaum kiri ini, akhirnya dapat ditumpas pada tangga 14 November 1926. sekitar 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak dan sebagian lain dijebloskan ke kamp di Boven Digul. Pemberontakan yang abortif ini sekaligus menandakan kehancuran gerakan kiri pada masa kolonial, untuk lalu kembali bergerak di masa selanjutnya.
Akhir Hayat Gerakan Kiri: Sebuah Penutup
Sebuah tahapan kebangkitan nasional ditutup oleh pemberontakan PKI tahun 1926. akan tetapi, sad ending yang menyakitkan ini bukan berarti menutup semua gerakan yang bertujuan merebut kemerdekaan Indonesia.
Kehadiran PKI di dalam kancah pergerakan nasional memberikan sebuah gambaran yang lebih jelas mengenai apa dan siapa sesungguhnya bangsa Indonesia itu. Gerakan kiri yang diwakili oleh PKI telah menyadarkan kaum pribumi sebagai sebuah bangsa tertindas oleh kapitalisme dan imperialisme Belanda.
Berdasarkan hal di atas, PKI telah menetapkan secara tegas identitas kelas pribumi. Lebih jauh lagi, dengan segala aksinya, baik melalui tulisan, pidato-pidato propaganda, aksi-aksi mogok dan pemberontakan melawan pemerintah kolonial, PKI telah mengangkat kaum pribumi menjadi lebih bermartabat.
Jika pada pemberontakan 1926 pemerintah kolonial memberangus gerakan ini dengan membuang dan membunuh pengikutnya, pada masa Orde Baru, gerakan kiri lagi-lagi dipersalahkan atas tragedi Gestapu 1965. Ribuan pengikut PKI ditangkap, dibuang, bahkan dibunuh secara biadab. Gerakan kiri tidak dapat lagi bernafas lega, ia terengah-engah dan sekarat, tergulung deras arus kapitalisme.
Kini, gerakan kiri tak lebih dari sebuah lulabi pengantar tidur yang merdu bagi anak-cucu kita. Tapi bagaimanapun, gerakan kiri tidak bisa dienyahkan begitu saja dari catatan sejarah pergerakan nasional Indonesia, mengingat perannya yang sangat signifikan dalam rangka membentuk konstruksi negara-bangsa Indonesia. Dan apa yang dilakukan oleh Orde Baru pada tahun 1965, tidak lain ialah kontinuitas rezim kolonial di masa yang lampau. Mungkin pepatah Perancis ada benarnya, histoire serepete!
Sekian, dan semoga saya salah.
BONNIE TRIYANA, lulusam Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro dengan skripsi tentang pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia di Purwodadi, Jawa Tengah.
sumber : http://www.mesias.8k.com/gerakankiri.htm
Jumat, 08 Oktober 2010
190 Tahun Multatuli
![]() | 190 Tahun Multatuli (1) Gugatan Eduard Douwes Dekker Minggu, 04 April 2010 - 04:33:51 WIB Max Havelaar, salju kecil yang menggelinding jadi besar. | ||||||||||||||||
ROMAN Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan. Bulan Maret tahun ini, di negeri asalnya, Belanda, 150 tahun penerbitan roman Max Havelaar yang juga bertepatan dengan 190 tahun kelahiran penulisnya diperingati besar-besaran. Mengusung tema “Het is geen roman,’t is een aanklacht!” (ini bukan roman, tapi sebuah gugatan), Universitas Amsterdam menggelar serangkaian kegiatan dari pameran, seminar, sampai pemutaran film. Bahkan universitas ternama di Belanda itu mengajukan roman Max Havelaar ke UNESCO untuk ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia. Dekker bukan ambtenar yang selalu membuat laporan palsu demi pujian dari atasan, atau hidup cari selamat demi gaji bulanan. Ia manusia yang benar pada tempat yang salah. Bukan saja penindasan sang bupati yang digugatnya, tapi juga kekuasaan kolonial yang membiarkan rakyat terus terhimpit kesusahan. “Saya tak suka menggugat siapa pun, tapi kalau harus, biar dia kepala tentu saya akan gugat,” ujar Max Havelaar, menunjukkan sikap teguh berpendirian. Menilai siapa Dekker tak sesederhana nalar malas yang percaya bahwa Belanda selalu penjajah dan pribumi selalu dijajah; Belanda selalu jahat sementara pribumi selalu benar. Memahami sejarah dalam beberapa soal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu sendiri. Bagaimana seorang Belanda bisa membela pribumi yang seharusnya dinistakan? Atau bagaimana bisa seorang kulit putih macam Eduard Douwes Dekker yang Protestan terenyuh atas penderitaan warga pribumi Banten yang gemar berontak di bawah panji sabilillah? Dalam posisi ini, Dekker seorang pengecualian. Betapapun banyak komentar miring mengenai karya Dekker, mulai dari gaya bahasa yang buruk, tak berbakat, fiksi yang berdasar pada bualan belaka, sampai karya murahan dari seorang penulis yang tak berpengalaman, kenyataannya roman itu menimbulkan kegelisahan di kalangan kolonialis semenjak kali pertama terbit. Karya Dekker, Max Havelaar, berdampak jauh dari yang mungkin ia pernah pikirkan. Segera setelah terbit, Max Havelaar menjadi bahan bagi segelitir orang di Belanda untuk menyerang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Salah satunya Robert Fruin. Terinspirasi Max Havelaar, ia menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jajahan. Dalam artikel itulah untuk kali pertama dikenal istilah “Baltig Slot” atau keuntungan dari program Cultuur Stelsel (tanam paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda. Bola salju yang digelincirkan Dekker melalui romannya menggelinding kian membesar. Tulisan Fruin mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda di Hindia Belanda yang menggagas politik etis seperti Van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer menulis artikel di media yang sama dengan Fruin, De Gids tahun 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda. Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Belanda De Locomotief yang berpusat di Semarang, giat menyuarakan perlunya pemerintah kolonial menjalankan kewajiban moral pada masyarakat bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis Dalam Politik Kolonial”, yang kemudian menjadi awal mulai dikenalnya istilah “politik etis.” Perlahan-lahan, seiring makin deras arus gerakan kaum etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, gagasan etis mulai dilirik dan dipertimbangkan Ratu Wilhelmina. Pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Program itu terdiri dari tiga proyek: pengairan, pendidikan, dan pemerataan jumlah penduduk penduduk. Salah satu hal penting dalam program politik etis adalah ketersediaan sarana pendidikan buat kaum bumiputera. Benar bahwa program pendidikan dalam politik etis pada akhirnya hanya menciptakan insinyur-insinyur atau dokter-dokter tukang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja ahli di perkebunan-perkebunan milik Belanda. Namun bagaimana pun program tersebut telah melahirkan kelompok baru dalam masyarakat Hindia Belanda, yang di kemudian hari menggerakkan kesadaran nasionalisme Indonesia. Sukarno salah satunya. Ia sendiri menjadikan Max Havelaar sebagai inspirasi dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan. Sebelum Sukarno, pejuang emansipasi perempuan RA Kartini pun membaca Max Havelaar dan mengatakan Multatuli sebagai penulis jenial pembela bumiputera yang tiada taranya dalam sastra Belanda. Sumbangan berharga dari karya Dekker adalah kejujurannya memandang ketimpangan yang disebabkan oleh penjajahan, baik dilakukan sesama bangsa sendiri maupun penguasa pribumi yang feodal. Dekker telah menunjukkan solidaritasnya sebagai manusia yang mendambakkan keadilan tanpa memandang perbedaan warna kulit dan ras justru di saat susunan masyarakat dunia dikotak-kotakan berdasarkan prinsip-prinsip rasialisme. Bagi Dekker, selama mereka menindas yang lemah, pejabat kolonial Belanda maupun pribumi adalah penjajah. Dan ia dengan baik menggambarkan suasana penjajahan itu, seperti terlihat dalam sebaris kalimat yang diungkapkan Max Havelaar: “Orang Jawa sebenarnya petani... Pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di selatan Prancis. Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka menjadikan diri pemilik tanah (orang Jawa) itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropa. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Mereka patuh pada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka... Dan...mereka berhasil.” [BONNIE TRIYANA]
|
Ganti Rugi Penjajahan
![]() | Ganti Rugi Penjajahan Jumat, 13 Agustus 2010 - 20:08:02 WIB Sebagai negara terjajah, Indonesia berhak meminta ganti rugi pada penjajah. Dari Jepang, dapat pampasan perang. Sedangkan dari Belanda hanya kata maaf. |
PADA suatu waktu, ketika berada di Jepang, secara berkelakar Hermawan Kartajaya pernah bertanya kepada Kikuchi-San dari JVC: “Berapa kira-kira ‘sumbangan’ Indonesia pada masa pendudukan Jepang dahulu terhadap pembangunan jalan mengilat yang bertumpuk-tumpuk serta terowongan bawah tanah yang banyak terdapat di Tokyo itu?” Sambil tersenyum, Kikuchi-San menjawab bahwa orang Jepang, terutama generasi muda, memang mempunyai kenangan pahit terhadap dampak “militerisme” negaranya pada masa lalu. “Karena itu, Jepang merasa mempunyai kewajiban ‘moral’ untuk membayar pampasan perang kepada seluruh negara yang pernah menjadi koloninya,” kata Kikuchi-San kepada Hermawan Kertajaya dalam Marketing Klasik Indonesia. Pada pertengahan tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai suatu pertemuan di San Francisco untuk merundingkan Perjanjian Damai dan Pampasan Perang dengan Jepang –lebih dikenal dengan Perjanjian San Francisco, yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia II. Beberapa negara, termasuk Indonesia, diundang. Kabinet Sukiman-Suwirjo yang kala itu berkuasa terpecah, terutama antara kelompok Partai Nasional Indonesia (PNI), yang menganggap tak jelas manfaatnya, dan dan Masyumi yang melihat pertemuan itu bisa mengakhiri ganjalan dalam masalah Indonesia dan Jepang. “Akhirnya pemerintah mengambil jalan tengah, bersedia hadir jika ada manfaatnya bagi Indonesia,” tulis Hadi Soesastro dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (1945-1959). Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo berangkat ke San Francisco. Tapi, pada 7 September 1951, beberapa jam sebelum acara penandatanganan, kabinet belum mencapai kata sepakat. Kabinet pun mengambil suara. Hasilnya: sepuluh menteri menyetujui Perjanjian Damai dan enam menteri menentang. Pada 20 Januari 1958, menindaklanjuti hasil Perjanjian San Francisco, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral yang berisi kesepakatan ganti rugi. Antara lain pampasan perang senilai US$223,080 juta serta kesediaan Jepang menanamkan modal di Indonesia dan mengusahakan pinjaman jangka panjang sampai batas US$400 juta. Perjanjian Damai dan Pampasan Perang tersebut disahkan DPR RI tanggal 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958. “Perjanjian pampasan tahun 1958 terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek… transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan,” tulis Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang: Hubungan Indonesia-Jepang, 1951-1966. Secara keseluruhan, lanjut Nishihara, proyek-proyek pampasan mengandung lebih banyak aspek negatif ketimbang aspek positif. Banyak proyek tak menerima dana cukup untuk menyelesaikannya akibat inflasi di Indonesia. Pampasan juga jadi lahan korupsi. Jika Jepang mau membayar ganti rugi atas penjajahan selama 3,5 tahun, bagaimana dengan Belanda yang menjajah jauh lebih lama? Ironis, justru Indonesia yang harus membayar ganti rugi, dan dananya untuk membantu pembangunan Negeri Belanda. Ini terkait dengan persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang memutuskan sebagai imbalan atas penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) pada 27 Desember 1949, Indonesia harus membayar utang kepada Belanda sebesar 4,5 milyar gulden –awalnya Belanda meminta 6,5 milyar gulden. Selain itu, untuk membangun kembali pascaperang, Belanda mendapatkan gelontoran dana, dalam bentuk hutang, dari program Marshall Plan AS antara tahun 1948-1951 sebesar US$1.128 juta. Sumbangan dari Marshall Plan dan Indonesia ini dikenal sebagai The Miracle of Holland (keajaiban Belanda). “Indie verloren, betekende niet ramspoed geboren (Hindia hilang, bukan berarti tiba bencana). Belanda masih bisa menarik keuntungan dari bekas jajahannya meski tanah jajahan itu sudah lepas,” tulis sejarawan Lambert Giebels dalam “De Indonesische Injectie” (Sumbangan Indonesia), yang dimuat di De Groene Amsterdammer, Januari 2000. Setelah membayar sekira 4 milyar gulden antara tahun 1950-1956, Indonesia secara sepihak membatalkan persetujuan KMB. Belakangan, pada awal Orde Baru, berdiri Inter Govenmental Group on Indonesia (IGGI), diketuai oleh Belanda, yang punya agenda tersembunyi berupa mencari penyelesaian utang Indonesia zaman Orde Lama, yang berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan Belanda, sekira US$2,4 milyar. Giebels tak habis pikir, mengapa Belanda tega melakukan itu kepada Indonesia. Padahal kepada Suriname, yang juga bekas jajahannya, Belanda membayar lunas ganti rugi atas perbudakan sebesar 1,5 milyar euro begitu Suriname merdeka pada 25 November 1975. Jumlah itu dianggap belum cukup. “Suriname berhak mendapat ganti rugi senilai 50 milyar euro,” kata ekonom Suriname Armand Zunder kepada Philip Smet dari Radio Nederland Wereldomroep, 2 Juli 2010. Zunder membandingkan kasus Suriname dengan kasus lainnya. Belanda minta ganti rugi dari Jerman setelah Perang Dunia II. Jerman membayar lebih dari 120 milyar euro untuk warga Yahudi. Organisasi Internasional DiversCités sudah berseru kepada Parlemen Prancis, juga negara-negara Eropa termasuk Belanda, untuk membayar ganti rugi kepada bekas jajahannya atas peran mereka dalam perbudakan. Pada 1999, di Afrika terbentuk The Africa World Reparations and Repatriation Truth Commission, sebuah komisi penyelidik internasional yang menuntut ganti rugi. Menurut hukum internasional, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bagaimana dengan Belanda? Jangankan ganti rugi, permintaan maaf atas penjajahan dan aksi militer di masa lalu baru disampaikan pemerintah Belanda pada 2005. Mereka juga akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan lagi 27 Desember 1949. Saat itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memutuskan tak akan minta ganti rugi. Alasannya diplomatis: banyak cara untuk memanfaatkan momentum penyesalan Belanda ke arah pembentukan hubungan RI-Belanda yang lebih menguntungkan Indonesia. Misalnya melalui kerjasama perdagangan, investasi, dan sosial-budaya. Cara tersebut dianggap lebih menjaga martabat bangsa Indonesia, negara yang tak mengeksploitasi penderitaan masa lalu untuk memperkaya diri. |
Mencari Wikana
![]() | Mencari Wikana (1) Sepakterjang Pemuda dari Sumedang Kamis, 19 Agustus 2010 - 01:23:10 WIB Dia berperan penting pada hari-hari buncit menjelang proklamasi. Hidupnya berakhir tragis. | ||||||||||||||||||||
PADA lokasi bekas rumah bersejarah di jalan Pegangsaan Timur No. 56 berdiri sebatang tiang menjulang tinggi dengan simbol petir di pucuknya. Sederet kalimat tertera pada dasar tiang itu: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.” Enam puluh lima tahun lalu, sesosok pemuda kurus berambut klimis berkacamata minus mendatangi rumah bersejarah yang dulu masih berdiri tegak. Wikana, pemuda itu, ditemani pemuda lain, Aidit, kelak menjadi orang nomor satu Partai Komunis Indonesia (PKI), Darwis, Yusuf Kunto dan Soebadio Sastrosatomo. Kepada Bung Karno Wikana meyakinkan kalau kemerdekaan harus segera diumumkan malam ini juga, kalau tidak “besok akan terjadi pertumpahan darah,” kata Wikana setengah mengancam. Bung Karno tersinggung. Dia membentak balik Wikana seraya menantang menyembelih lehernya malam itu juga, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi!” Cuplikan adegan itulah yang melambungkan nama Wikana sebagai pemuda revolusioner dan banyak dikutip di dalam kitab-kitab sejarah. Selebihnya, samar-samar. Padahal ada banyak peran penting lain yang dimainkannya. Dia pernah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, mulai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sampai Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Setahun setelah proklamasi, dia juga tercatat pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda selama empat kali periode kabinet, dua kali dalam kabinet Sjahrir dan dua kali pada kabinet Amir Sjarifuddin. Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. “Dia datang dari keluarga perjuangan, kakaknya, Winanta seorang Digulis,” kata Soemarsono, tokoh pemuda angkatan ’45 yang ditemui pekan lalu (12/8) oleh Majalah Historia Online di kediaman putrinya di Bintaro, Jakarta Selatan. Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung. Selain menguasai bahasa Belanda, Wikana juga pandai bercasciscus bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan Rusia. Tati Sawitri Apramata, putri ketiga Wikana, mengenang ayahnya sebagai kutu buku yang pandai berbahasa asing. “Bapak bisa banyak bahasa, hobinya baca buku. Pulang dari sidang, selalu bawa buku, dari mana-mana selalu buku yang dibawa,” kenang perempuan berusia 61 tahun yang kini tinggal di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur itu. Sidang yang dimaksud Tati adalah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ayahnya menjadi anggota. Sosok Wikana yang cerdas dan tajam diamini oleh Soemarsono. Menurut lelaki yang pernah satu kos dengan Achmad Azhari, kawan sekerja Wikana, pemuda dari Sumedang itu dikenal sebagai orang yang tak banyak bicara, cerdas, dan tajam. Kepada Wikana pula Soemarsono sempat berguru soal teori-teori dalam dunia politik. “Dia yang mengajari saya tentang terminologi dan istilah-istilah dalam politik,” kata Soemarsono yang telah mengenal Wikana sebelum Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bukan saja Soemarsono, Aidit dan MH Lukman termasuk anak muda yang mengagumi pemimpin PKI Jawa Barat itu. Dua tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Wikana, bersama dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna sempat masuk kerangkeng atas tuduhan subversif terhadap pemerintah kolonial. Dia menyebarkan pamflet Menara Merah yang punya kaitan dengan PKI bawah tanah. PKI sendiri telah dilarang oleh pemerintah kolonial pascapemberontakan 1926. Trikoyo Ramidjo, salah satu anggota PKI yang sempat terlibat dalam upaya pembangunan kembali partai setelah Madiun affairs, mengatakan kalau Wikana memang anggota PKI bawah tanah. “Dia jadi anggota partai sejak tahun 1930-an, cita-citanya jelas sekali untuk kemerdekaan Indonesia,” ujar pria yang pernah melewati masa kecilnya di Boven Digul, Papua mengikuti ayahnya sebagai tahanan politik kolonial. Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal. Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta. Widartalah yang merekrut Aidit dan MH Lukman masuk PKI namun ironisnya harus mati karena keputusan internal partainya sendiri. Sohib Wikana itu diadili in absentia oleh Amir Sjarifuddin gara-gara menjalankankan kebijakan yang dianggap tak sejalan dengan garis partai pada peristiwa Tiga Daerah di wilayah karesidenan Pekalongan. Sebuah eksekusi di Pantai Parangtritis meringkus nyawanya. Berbeda dengan Widarta yang meregang nyawa di ujung bedil, karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu. Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto. Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Dia punya posisi yang lumayan terhormat: sebagai anggota MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan sejumlah aktivitas organisasi lainnya. Satu-satunya yang dia tak miliki adalah kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di dalam partai. Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana sebagaimana dikatakan oleh Abriyanto, cucu menantu yang beberapa waktu belakangan tekun menyusun biografi Wikana. Wikana benar. Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya. [BONNIE TRIYANA]
|
Langganan:
Postingan (Atom)