Sabtu, 09 Oktober 2010

jatuh-Bangun Gerakan Kiri di Indonesia

jatuh-Bangun Gerakan Kiri di Indonesia
OLEH BONNIE TRIYANA*


“Laiknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun.
Begitupun dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah!”.
(Kiyai Haji Achmad Chatib: menjelang pemberontakan komunis di Banten 1926)


MUNCUL pertanyaan dalam benak saya: masih pantaskah kita memperingati hari Kebangkitan Nasional di kala saudara kita di Aceh hidup dicekam ketakutan akibat “perang kusir” antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia? Dan mengapa 20 Mei selalu diperingati sebagai “hari raya” Kebangkitan Nasional?

Saya teringat kembali kisah Mahabrata yang menceritakan bahwa suatu ketika, para Pandawa yang masih muda belia, pergi belajar memanah. Ketika mereka diperintahkan untuk memanah seekor burung yang bertengger di dahan sebuah pohon, terlebih dahulu sang guru menanyakan, apakah yang mereka lihat? Lalu secara bergantian kelima saudara itu menjawab. Ketika giliran jatuh pada Arjuna, ia menjawab bahwa ia hanya melihat kepala burung, tidak ada yang lain. Hal itu dapat terjadi karena Arjuna memusatkan perhatiannya pada kepala burung belaka. Saking konsentrasinya, Arjuna tidak lagi melihat badan burung dan dahan tempatnya bertengger.

Cara kita melihat 20 Mei 1908 sebagai awal dari kebangkitan nasional tak ubahnya seperti Arjuna yang belajar membidik panah. Ia hanya melihat kepala burung,dan kita hanya melihat peristiwa ”20 Mei 1908”, seakan-akan kelahiran Boedi Oetomo (BO) itu ialah awal dari semuanya. Begitulah mitos jika digunakan untuk melihat sejarah. Jika peristiwa sejarah sudah dimitoskan maka yang lain hanya tampak sebagai gincu pemanis bibir.

Sebenarnya, seperti pernah dikemukakan oleh Prof Sartono Kartodirdjo, pidato Soetomo dalam Kongres Jong Java yang diselenggarakan oleh BO, 3 - 5 Oktober 1908, di ruang pertemuan sekolah guru di Jetis, Yogyakarta, memiliki dampak lebih besar bagi kebudayaan politik bangsa Indonesia, dibandingkan kongres pendirian BO sendiri. Selain itu, dalam pidato Soetomo tersebut, telah muncul sebuah kesadaran kolektif akan identitas sebagai kelas pribumi yang termarjinalkan. Maka, tidak berlebihan jika “peristiwa 20 Mei” yang selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional layak dipertanyakan kembali.

Namun, terlepas dari kepala burung yang dibidik oleh busur sang Arjuna, saya akan membahas perihal gerakan kiri dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Betapapun kaburnya pengertian “kiri” itu sendiri bagi kebanyakan orang.

Gerakan Kiri di Indonesia: Kelahiran dan Sepak Terjangnya.

Cikal bakal gerakan kiri di Indonesia diawali oleh berdirinya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914 di Surabaya. lalu tanggal 23 Mei 1920, ISDV telah berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Empat tahun kemudian, organisasi ini kembali mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini memusatkan kegiatannya di Semarang, hal ini membuat Semarang dikenal sebagai “ibukota Komunis pertama di Indonesia”.

Asal usul kaum kiri di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua nama besar, Henks Sneevliet dan Semaoen. Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet memulai kariernya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner. Pada saat di Belanda, ia memimpin sebuah pemogokan buruh galangan kapal di Amsterdam. Aktivitasnya itu membuat ia sukar mendapatkan pekerjaan, oleh sebab itu ia pergi menuju Indonesia untuk mencari penghidupan. Pekerjaanya yang pertama ialah sebagai staf editor Soerabajaasch Handelsblad. lalu, pada tahun 1913 ia pindah ke Semarang untuk menggantikan posisi rekannya D.M.G Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging. Kemudian, pada tahun 1914, bersama dengan tiga orang rekannya J.A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV di Surabaya. Selain itu ia juga aktif di Vereeniging voor Spoor -en Traamwegpersoneel (VSTP) sebagai editor pada De Volharding, sebuah koran terbitan VSTP. Atas sarannyalah, VSTP terbuka bagi bumiputera dan bergerak radikal membela kepentingan pegawai-pegawai bumiputera yang miskin.

Figur kedua dalam gerakan kiri ialah Semaoen. Ia dikenal sebagai seorang anak didik Sneevliet yang cerdas. Lahir pada tahun 1899 di Mojokerto sebagai anak buruh kereta api. Ia bukanlah keturunan priayi, namun, karena dibesarkan pada zaman etis, ia turut mengenyam pendidikan dasar gaya Barat. Lulus dari Sekolah Bumiputera Angka Satu, di bergabung dengan Staatspoor (SS) pada tahun 1912 di usia tiga belas tahun. tahun berikutnya, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) afdeling Surabaya. Berkat kecakapannya Semaoen langsung tampil ke depan sebagai sekretaris SI di Surabaya pada tahun 1914. Pada masa itulah, ia bertemu dengan Sneevliet dan terkesan akan “sikap manusiawi yang tulus” yang sama sekali terbebas dari “mentalitas kolonial” yang dimilikinya. Melalui Sneevliet, Semaoen mulai belajar menulis dan berbicara dengan bahasa Belanda. pada Juli 1916, ia pindah ke Semarang untuk menjadi propagandis VSTP dan menjadi editor SI Tetap, surat kabar VSTP yang berbahasa Melayu. Satu tahun setelahnya, ia kembali dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai propagandis dan komisaris SI Semarang pada usia 18 tahun. Setelah Sneevliet diasingkan, Semaoen mengambil alih kepemimpinan dalam partai.

Di awal pendiriannya, anggota ISDV didominasi oleh orang-orang Belanda. Didorong oleh keinginan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, pada 1915 - 1916 ISDV menjalin hubungan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 partai ini menerima anggota dari Indische Partij yang terdiri dari beberapa orang Indonesia yang radikal. Namun, kerjasama ini belum menjadi alat yang ideal untuk mengambil hati rakyat pribumi secara keseluruhan. Berdasarkan hal itu, ISDV mengubah haluannya ke SI, satu-satunya organisasi yang memiliki massa Indonesia terbanyak.

Dengan menggunakan cara ini, ISDV berhasil menggaet dukungan kelas pribumi yang pada umumnya ialah muslim nominal. Strategi ini dikenal sebagai “”blok di dalam” atau block within yang dikembangkan sejak tahun 1916 oleh ISDV untuk meraih dukungan dari massa Sarekat Islam (SI). Maksud dari taktik ini ialah mengembangkan propaganda dan koneksitas di antara massa dengan membuat semacam sel-sel di dalam tubuh partai induk. Namun begitu, di masa selanjutnya, strategi telah mendatangkan perseteruan antara SI dan PKI.

Dalam masa awal kebangkitan gerakan kiri, mencuat isu tentang Indie Werbaar (pertahanan Hindia). Indie Werbaar merupakan reaksi kecemasan pemerintah kolonial atas bangkitnya pan Asianisme yang dipimpin oleh Jepang dalam Perang Dunia I (1914 -1918). Demi mengamankan asetnya dari pengaruh negatif Perang Dunia I, pemerintah bermaksud untuk membentuk milisi pertahanan yang terdiri dari rakyat bumiputera. Menanggapi hal tersebut, muncul sikap pro dan kontra. Dalam pada itu, gerakan kiri yang dimotori oleh Semaoen, Darsono, Haji Misbach, dan Mas Marco berada di pihak yang kontra. Melalui pidato-pidato propaganda dan tulisan-tulisannya, mereka menentang keras kebijakan pemerintah itu. Mereka tak ingin rakyat pribumi menjadi korban sia-sia dari perjuangan yang tak pasti arahnya.

Dengan cepat isu ini berubah menjadi tuntutan untuk membentuk perwakilan rakyat pribumi. Gonjang-ganjing ini kemudian ditanggapi oleh parlemen Belanda dengan meluluskan permintaan untuk membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) dan menolak Indie Werbaar. Pada kenyataannya, Volksraad hanya diisi oleh orang-orang yang bersikap koorperatif pada kekuasaan dan menafikan kepentingan rakyat. Menanggapi hal itu, koran Sinar Djawa mengkritik pemilihan anggota Volksraad sebagai hal yang tak berguna bagi rakyat. Ketidakpuasan ini secara jelas menunjukan sikap kepedulian yang tinggi atas nasib bangsa pribumi. Dalam pandangan gerakan kiri, Volksraad harus benar-benar mewakili dan berjuang demi perbaikan nasib wong cilik. Di waktu selanjutnya, kritik-kritik tajam Semaoen dan kaum kiri lainnya tidak hanya dihujamkan kepada isu Volskraad saja, namun diperluas lagi menjadi kecaman-kecaman terhadap kapitalisme yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Kecaman-kecaman itu direalisasikan dalam berbagai bentuk, tidak hanya artikel, tapi juga dalam bentuk kisah yang sastrawi.

Misalnya pada tahun 1924, Mas Marco Kartodikromo, seorang nasionalis-komunis yang masih muda menulis sebuah kisah yang berjudul Semarang Hitam, yang potongan ceritanya sebagai berikut:

Seorang laki-laki muda duduk di atas kursi rotan panjang membaca koran. Ia tenggelam dalam keasyikan. Kemarahannya sekali-kali dan pada saat yang lain senyumannya menjadi tanda pasti ia sangat menaruh minat pada cerita yang dibacanya. Ia balikan halaman-halaman koran, berpikir mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang menghentikan perasaannya yang sangat menderita. Sekonyong-konyong ia mendapati sebuah artikel dengan judul:

KEMAKMURAN
Seorang gelandangan jatuh sakit dan tewas di tepi jalan
karena kedinginan
Orang muda itu sangat tersentuh oleh laporan singkat ini. Ia serasa dapat membayangkan penderitaan orang malang itu ketika terbaring menyongsong ajal di pinggir jalan…Suatu saat ia merasakan kemarahan yang bergejolak di dada. Saat lain ia merasa iba. Saat lain lagi kemarahannya terarah pada sistem sosial yang melahirkan kemelaratan semacam itu, ketika membuat suatu kelompok kecil orang menjadi kaya.

Apa yang ditulis oleh Marco merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang kurang tanggap terhadap kehidupan kaum pribumi. Lebih jauh lagi, dari tulisan ini, Marco telah mengungkapkan kepincangan sistem sosial yang berlaku saat itu, ia juga secara implisit telah menegaskan siapa saya dan siapa engkau, “saya” di sini berarti pribumi dan “engkau” mengandung makna penguasa kolonial. Sama dengan Marco, sebelumnya Semaoen telah menulis kisah-kisah kepincangan sosial tersebut dalam cerita yang berjudul “Hikayat Kadiroen”.

Kerapuhan di balik Kekuatan: Islamisme versus Komunisme

PKI yang telah menjadi sebuah partai pribumi yang progresif, mengembangkan propaganda yang bersifat ke-Indonesia-an. Pada saat itu PKI kurang menekankan pada doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, namun Ia lebih memberikan perhatian pada propaganda yang berbasis kultural Jawa. Berbeda dengan pemerintah kolonial yang menetapkanya sebagai pemberontak, PKI menyebut Diponegoro, Kyai Maja, dan Sentot sebagai pahlawan dalam Perang Jawa. PKI juga menggunakan ramalan-ramalan yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil sebagai daya tariknya. Satu hal yang tampak sebagai sebuah keunikan pada periode ini, munculnya istilah Islam Komunis. Haji Misbach ialah salah satu tokoh muslim-komunis yang melegenda saat itu. Sebagai mubaligh lulusan pesantren, ia sering melakukan ceramah tentang Islam dan komunis, sehingga ia dikenal sebagai “Haji Merah”.

Namun PKI alpa, bahwa sebenarnya hubungan Islam dan komunis seibarat minyak dengan air, dapat dicampur, tapi tak mungkin bersatu. Di balik kekompakan mereka dalam menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial, pertikaian ideologis telah merapuhkannya dari dalam. Dan tampaknya, atas dasar itulah Semaoen bermaksud mendirikan federasi antara 20 sarekat dagang yang berada di bawah naungan SI dengan 72.000 orang anggota PKI di bulan Desember 1919. Akan tetapi, sang “raja mogok”, yang juga pemimpin serikat sekerja dari Central Sarekat Islam (CSI), Surjopranoto, mempersoalkan kepemimpinan Semaoen sehingga bubarlah federasi itu. pertikaian antara Islam dan komunis semakin tak terbendung ketika pada bulan November 1920, sebuah terbitan PKI yang berbahasa Belanda, Het vrije woord (Kata yang bebas) menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme. Berbagai pihak berupaya untuk mendamaikan kedua belah pihak, termasuk oleh Tan Malaka. Namun, sia-sia belaka, akibat dari pertikaian ini SI terbelah menjadi dua bagian, SI merah dan SI Putih. Kemudian, SI merah diberi nama sebagai Sarekat Rakyat. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa strategi PKI dalam mencari massa ini telah menyebabkan pertikaian yang kronis antara SI dengan PKI.

Dan perpecahan tersebut tampaknya telah meningkatkan rasa permusuhan di semua pihak. Persaingan memperebutkan pengikut penduduk desa antar cabang-cabang SI dan cabang Sarekat Rakyat, telah menyeret PKI ke dalam lingkungan keras dan anarkis. Akhirnya PKI tergelincir dalam sebuah pemberontakan ketika organisasi ini tidak dapat memutuskan apakah harus membubarkan Sarekat Rakyat yang jumlah pengikutnya dari kelas non proletar semakin bertambah banyak. Suasana yang tidak menguntungkan bagi pergerakan nasional ini berlangsung cukup lama dan berlarut-larut. Gerakan kiri tejebak ke dalam kondisi yang tidak menguntungkan, lebih-lebih setelah Semaoen, sang pionir kiri, mengalami nasib yang tragis; dibuang oleh pemerintah kolonial karena menyerukan pemogokan buruh tahun 1923.

Hutang Padi dibayar Padi, Hutang Darah dibayar Darah: Pemberontakan PKI 1926

Di tengah-tengah suasana yang carut marut, akibat ketatnya pengawasan penguasa dan konflik internal yang mulai merapuhkan gerakan kiri, sebuah pemberontakan disiapkan pada bulan Desember 1924. Sesunguhnya, aksi ini tidak mendapatkan restu dari Komintern di Uni Soviet, mengingat pemimpin PKI, Semaoen, dibuang karena kasus pemogokan besar-besaran buruh VSTP pada tahun 1923. Namun, beberapa pimpinan PKI yang tersisa, tetap bermaksud untuk “unjuk gigi” di hadapan penguasa kolonial.

Sebuah keunikan muncul dalam pemberontakan ini. Banten, sebuah daerah yang dikenal dengan daerah pengikut Islam yang ortodoks, juga turut memberontak atas nama PKI. Malah, di daerah ini pemberontakan komunis jauh lebih besar ketimbang tiga daerah lainnya, yakni Priangan, Batavia, dan Sumatera Barat. Khusus di Banten, pemberontakan komunis terjadi akibat para pemimpin tradisional, kyai dan jawara, merasa tidak puas dengan SI. Faktor lainnya ialah kesamaan sifat radikalisme yang dikandung, baik oleh PKI, maupun oleh rakyat Banten. Betapun hebatnya pemberontakan kaum kiri ini, akhirnya dapat ditumpas pada tangga 14 November 1926. sekitar 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak dan sebagian lain dijebloskan ke kamp di Boven Digul. Pemberontakan yang abortif ini sekaligus menandakan kehancuran gerakan kiri pada masa kolonial, untuk lalu kembali bergerak di masa selanjutnya.

Akhir Hayat Gerakan Kiri: Sebuah Penutup

Sebuah tahapan kebangkitan nasional ditutup oleh pemberontakan PKI tahun 1926. akan tetapi, sad ending yang menyakitkan ini bukan berarti menutup semua gerakan yang bertujuan merebut kemerdekaan Indonesia.

Kehadiran PKI di dalam kancah pergerakan nasional memberikan sebuah gambaran yang lebih jelas mengenai apa dan siapa sesungguhnya bangsa Indonesia itu. Gerakan kiri yang diwakili oleh PKI telah menyadarkan kaum pribumi sebagai sebuah bangsa tertindas oleh kapitalisme dan imperialisme Belanda.

Berdasarkan hal di atas, PKI telah menetapkan secara tegas identitas kelas pribumi. Lebih jauh lagi, dengan segala aksinya, baik melalui tulisan, pidato-pidato propaganda, aksi-aksi mogok dan pemberontakan melawan pemerintah kolonial, PKI telah mengangkat kaum pribumi menjadi lebih bermartabat.

Jika pada pemberontakan 1926 pemerintah kolonial memberangus gerakan ini dengan membuang dan membunuh pengikutnya, pada masa Orde Baru, gerakan kiri lagi-lagi dipersalahkan atas tragedi Gestapu 1965. Ribuan pengikut PKI ditangkap, dibuang, bahkan dibunuh secara biadab. Gerakan kiri tidak dapat lagi bernafas lega, ia terengah-engah dan sekarat, tergulung deras arus kapitalisme.

Kini, gerakan kiri tak lebih dari sebuah lulabi pengantar tidur yang merdu bagi anak-cucu kita. Tapi bagaimanapun, gerakan kiri tidak bisa dienyahkan begitu saja dari catatan sejarah pergerakan nasional Indonesia, mengingat perannya yang sangat signifikan dalam rangka membentuk konstruksi negara-bangsa Indonesia. Dan apa yang dilakukan oleh Orde Baru pada tahun 1965, tidak lain ialah kontinuitas rezim kolonial di masa yang lampau. Mungkin pepatah Perancis ada benarnya, histoire serepete!

Sekian, dan semoga saya salah.


BONNIE TRIYANA, lulusam Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro dengan skripsi tentang pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia di Purwodadi, Jawa Tengah.


sumber : http://www.mesias.8k.com/gerakankiri.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar