Selasa, 05 Oktober 2010

Korban Pelanggaran HAM 1965-66: Menggugat!!!

KORBAN PELANGGARAN HAM 1965-66: MENGGUGAT!!!

(Menyongsong HUT 102 Lahirnya Bung Karno)

Oleh: M.D.Kartaprawira*)

Dewasa ini telah banyak penelitian mengenai peristiwa Gerakan 30 September (G30S), yang mengakibatkan jungkirbaliknya sejarah Indonesia. Di jaman rezim Orde Baru penguasa dengan mesin propagandanya terus menjejalkan kepada masyarakat bahwa gerakan tersebut didalangi oleh PKI dan bahkan berdasarkan TAP MPRS XXXIII/1967 Bung Karno dituduh terlibat G30S/PKI . Sesudah jenderal Soeharto tersisih dari kekuasaan, dan mulai berjalan era reformasi terbukalah kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Akibatnya terkuak beberapa versi lainnya mengenai G30S, a.l. bahwa G30S tersebut didalangi oleh Soeharto sendiri yang ingin memusnakan saingan-saingannya dalam ABRI dan PKI sebagai pendukung Soekarno, demi meluangkan jalan untuk merebut kekuasaan. Juga ada versi terlibatnya CIA dalam G30S dan dinas intelijen Inggris, yang terus mengincar Soekarno sebagai tokoh gerakan Asia Afrika yang membahayakan kepentingan imperialis di kedua benua tersebut. Demikianlah kita kenal versi G30S/PKI, G30S/Soeharto, G30S/CIA dll.

Lepas versi mana yang benar mengenai G30S, siapapun tidak bisa mengingkari bahwa pembunuhan (yang diperkirakan sekitar 1 sampai 3 juta orang), penahanan tanpa proses hukum (puluhan ribu orang) secara massal, pencabutan paspor orang-orang yang didakwa tersangkut G30S di luar negeri, dan lain-lainnya adalah pelanggaran HAM berat yang harus dituntaskan masalahnya.[1][1] Apalagi akibat pelanggaran HAM tersebut diderita juga oleh anak-cucu si korban yang didiskriminasikan dalam kehidupaan bermasyarakat dan bernegara sampai dewasa ini dalam berbagai masalah.

Pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM harus mendapat perhatian besar, sebab hak-hak tersebut adalah alami sejak manusia lahir di dunia (bahkan dari spektrum yuridis bayi yang masih dalam kandungan pun sudah memiliki hak-hak tertentu). Pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM harus lepas dari batasan-batasan agama, etnik, suku golongan dan status kepartaian. Hal ini berarti: tidak pandang siapa yang menjadi korban pelanggaran, penguasa/penyelenggara negara berkewajiban menegakkan keadilan bagi korban yang bersangkutan. Di sisi baliknya berarti: tidak pandang siapa yang melakukan pelanggaran HAM, mereka harus ditindak sebagai penjahat/pelanggar HAM dan mendapat konsekwensi setimpal. Bahkan eksistensi TAP MPRS No.XXV/1966 yang direkayasa rejim Soeharto dan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, pun tidak bisa dijadikan dasar untuk melegitimasi kejahatan kemanusiaan tersebut dan melakukan praktek impunity. Maka TAP tersebut yang selalu dijadikan landasan untuk tindakan melanggar HAM harus dicabut.

Tapi kenyataan yang terjadi di Indonesia kita lihat kejanggalan-kejanggalan dalam pembelaan dan penegakan HAM: penuh diskriminasi. Seperti kita ketahui di Indonesia terdapat banyak pelanggaran HAM, antara lain Tragedi Kemanusiaan 1965, Peristiwa Malari, Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari Lampung, Peristiwa 27 Juli, penculikan aktivis pro-demokrasi, Tragedi Mei 1998, penembakan mahasiswa Trisakti, dll. Tapi mengapa Tragedi Kemanusiaan 1965-66, yang merupakan kejahatan kemanusiaan BERAT di Indonesia dan di dunia kurang mendapat perhatian dari para peduli HAM di Indonesia dan penguasa? Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa para korbannya adalah orang-orang komunis/PKI atau pendukung-pendukungnya.

Berhubung dengan itu, maka setidak-tidaknya ada dua hal yang perlu diperjelas;

Pertama, penegakan keadilan terhadap korban pelanggaran HAM harus tidak tergantung kepada apakah mereka itu orang komunis atau nasionalis, PKI atau PNI, Islam atau non-Islam, Jawa atau bukan-Jawa, pribumi atau keturunan asing dll, dsb. Tapi praktek di Indonesia membuktikan adanya diskriminasi dalam law enforcement, yang seharusnya tidak boleh terjadi di dalam negara yang konstitusinya mencantumkan RI sebagai negara hukum.

Kedua, adanya suatu asumsi salah bahwa korban pelanggaran HAM 1965-66 adalah hanya orang-orang PKI, ormas-ormasnya dan para simpatisannya saja. Pada hal tidak demikian kenyataannya, sebab termasuk sebagai korban 1965 juga orang-orang nasionalis-demokrat-patriot para pendukung Bung Karno [2][2] (PNI, Partindo, Baperki) yang banyak juga jumlahnya. Tapi rezim militaris orba yang berencana merebut kekuasaan dari presiden Soekarno memilih strategi pengikisan kaum komunis dan ideologinya di bumi Indonesia sebagai tahap pertama untuk masuk ke tahap kedua – mengikis kaum nasionalis-demokrat pendukung setia Bung Karno dan merebut kekuasaan dari presiden Soekarno.

Bahkan Bung Karno sendiri setelah dikudeta oleh jenderal Soeharto dijadikan tapol (tahanan politik) dengan isolasi yang ketat dari dunia luar. Tidak ada orang yang mengetahui apa yang terjadi dengan Bung Karno yang dalam keadaan sakit kronis di dalam tahanan tersebut. Tapi yang jelas Bung Karno meninggal di dalam tahanan tersebut. Agaknya memang sudah diskenariokan demikan itu oleh rejim Soeharto. Mengenai hal itu masing-masing dari kita bisa membuat kesimpulan sendiri-sendiri. Tapi yang jelas lawan-lawan politik Bung Karno (yakni Rejim Orde Baru, CIA, KAMI/KAPPI dsb.) merasa lega dan puas.

Pentapolan Bung Karno, menyusul pencopotannya dari jabatan presiden, yang berakhir dengan kematiannya dalam tahanan adalah suatu matarantai skenario komplotan jenderal Soeharto dkk. (pendiri rejim Orde Baru) dengan CIA untuk melikwidasi Soekarno , yang merupakan musuh bebuyutan bagi kaum imperialis dan kolonialis di benua Asia-Afrika.

Untuk mensukseskan strategi tahap pertama tersebut, maka semua mesin perang dan propaganda ditujukan terhadap penghancuran PKI dan pendukung-pendukungnya. Hal itu dapat dimengerti: Pertama, penghancuran PKI dan pelarangan ideologi komunisme di Indonesia adalah sesuai dengan strategi Amerika dalam era perang dingin melawan negara-negara blok komunis, di mana jendral Soeharto dan jenderal-jenderal kanan lainnya mendapat bantuan dan dukungannya; Kedua, dengan memfokuskan propaganda dan penghancuran PKI yang dituduh mendalangi atau tersangkut G30S, rezim Orba berusaha untuk tidak menimbulkan resistensi dari massa kaum nasionalis-demokrat dari pendukung-pendukung setia Bung Karno. Dengan demikian sukseslah strategi tahap pertama untuk membuka jalan ke strategi tahap kedua – penghancuran kekuatan Soekarno.

Jadi tidaklah salah mereka yang berpendapat bahwa penghancuran PKI hanyalah sasaran antara, sedang sasaran pokok adalah Bung Karno. Sebab Bung Karno pada era Perang Dingin yang juga merupakan era Kebangunan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika melawan kolonialisme, peranannya sangat membahayakan kepentingan kaum imperialis dan kolonialis. Bung Karno bukan saja sebagai Bapak Pemersatu Bangsa Indonesia, tetapi juga tokoh dunia Pemersatu Bangsa-bangsa Asia-Afrika (di samping Ahmed Sekuture, Mudibo Keita, Gamal Abdel Naser, Julius Nereire, Ali Butho, dll). dalam perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Pada kurun waktu pasca Konferensi Bandung 1955 rakyat Asia-Afrika yang masih berada di bawah penindasan kaum kolonialis-imperialis mengangkat senjata melawan penindasnya. Dan satu demi satu muncullah negara-negara muda berdaulat: Guinea, Guinea-Bissau, Mozambik, Angola, Mali, Kongo Kinshasa, Kongo Brazzaville, Tanzania, dll. Dengan demikian jelas bahwa Bung Karno juga pejuang pembela hak asasi rakyat Asia-Afrika yang dirampas oleh kaum kolonialis-imperialis puluhan-ratusan tahun lamanya.

Karena peranan Bung Karno yang demikian itulah kaum imperialis (CIA) dengan jalan apa saja berusaha melikwidasi Soekarno. Karena PKI adalah pendukung Soekarno yang paling utama dan merupakan musuh ideologis kaum imperialisme (CIA), maka merekalah yang pertama-tama harus dihancurkan. Akibat kehancuran PKI perimbangan kekuataan politik di Indonesia berubah tajam, sehingga Soekarno dapat dijatuhkan dari kekuasaan pemerintahan. Dia ditahan tanpa proses hukum dan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, sampai akhir hayatnya. Demikianlah Bung Karno sebagai tapol rezim Orde Baru Soeharto dan korban pelanggaran HAM 1965-66. Jadi penyelesaian masalah pelanggaran HAM 1965-66 bukanlah semata-mata masalah orang PKI, tapi masalah nasional.

Pada tanggal 28 Maret 2003 telah tiba di Negeri Belanda delegasi Pembela Korban Pelanggaran HAM 1965-66 (terdiri dari dr. Ribka Ciptaning, Ir. Setiadi Reksoprodjo dan mantan Letkol Heru Atmodjo) yang bertujuan mengikuti Sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa. Perjuangan pembelaan korban pelanggaran HAM 1965-66 sudah berlangsung cukup lama, terutama oleh Komite Tapol/Napol di bawah pimpinan Gustaf Dupe SH, yang kemudian disusul timbulnya Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) di bawah pimpinan Simon Tiranda, YPKP dibawah pimpinan Ibu Sulami. Sedang LSM-LSM di bidang kemanusiaan tidak tampak gregetnya dalam kegiatannya yang berkaitan dengan pelanggaran HAM 1965-66, sehingga menimbulkan pertanyaan dan kesan yang negatif. Mengapa mereka hanya meramaikan masalah pelanggaran HAM di Timtim, Aceh, Papua, Tanjung Priok, Trisakti dll., sedang mengenai masalah pelanggaran HAM 1965-66 tampak adem ayem saja? Maka dari itu tidak dapat dipersalahkan kalau timbul pertanyaan sinis dari masyarakat: apakah hal tersebut ada hubungannya dengan masalah donasi luar negeri? Apakah ada pesanan-pesanan tertentu dari donator?

Memang baru-baru ini KOMNASHAM telah mempunyai sub-komisi yang menangani masalah pelanggaran HAM 1965. Meskipun demikian hal itu masih belum bisa meyakinkan bahwa pintu pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM 1965-66 sudah terbuka lebar. Masih memerlukan bukti yang tentu tidak akan tampak segera. Bahkan bagi sementara orang terbentuknya Sub-komisi HAM 1965 tersebut dianggap kewajaran akibat gencarnya kritik yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (Komite Tapol/Napol, Pakorba, YPKP) dan para peduli HAM lainnya melalui tulisan-tulisan di media internet khususnya (misalnya dari Nederland dan Perancis). Makanya cepat atau lambat masalah tersebut mesti mencuat dan perlu ditangani penyelesaiannya., tidak tergantung ada atau tidak usaha-usaha dari sementara LSM yang mau memikirkan penyelesaian pelanggaran HAM 1965. Demikianlah munculnya Sub-Komisi masalah HAM 1965 dalam KOMNASHAM merupakan suatu proses alami perkembangan dalam masyarakat yang sudah tidak mungkin lagi bisa menyembunyikan secara abadi pelanggaran HAM 1965-66 di dalam negara yang konstitusinya menyatakan sebagai negara hukum. Bagaimanapun juga terbentuknya Sub-Komisi Masalah HAM 1965 dalam KOMNASHAM harus disambut dengan baik.



Dewasa ini dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah korban pelanggaran HAM 1965-66 (dan pelanggaran HAM lainnya) muncul bermacam-macam pandangan tentang perlunya Rekonsiliasi Nasional antara para korban dan pelaku pelanggaran HAM. Di bawah ini adalah 3 dari bermacam-macam skema mekanisme rekonsiliasi nasional:



1. Rekonsiliasi harus mengungkap kebenaran dan keadilan, untuk itu harus terlebih dulu mereka yang tersangkut dalam pelanggaran HAM harus diadili di pengadilan.

Kemudian kepada yang bersangkutan diberi grasi, sedang kepada para korban diberi rehabilitasi dan kompensasi atas hak-haknya yang terlanggar.



2. Rekonsiliasi harus mengungkap kebenaran dan keadilan, yang dilaksanakan oleh suatu komisi rekonsiliasi. Komisi itulah yang akan bertindak sebagai pengadilan. Antara pihak-pihak yang berlawanan kemudian saling maaf-memaafkan dan kepada para korban diberi rehabilitasi dan konpensasi, sedang kepada pihak lainnya diberi grasi.



3.Rekonsiliasi harus mengungkap kebenaran dan keadilan, tapi untuk itu pertama -tama Pemerintah harus terlebih dulu merehabilitasi semua para korban yang tidak terbukti bersalah atau tidak pernah diadili secara hukum. Mereka kemudian diberi konpensasi sesuai dengan kemampuan Negara saat ini. Baru kemudian para pelanggar HAM diadili secara hukum (oleh pengadilan biasa atau pengadilan komisi rekonsiliasi) untuk mengungkap kebenaran dan keadilan. Rekonsiliasi Nasional menjadi tuntas setelah mereka yang dinyatakan bersalah mendapatkan grasi.



Tiga macam skema mekanisme rekonsiliasi tersebut mungkin bisa menjadi bahan pemikiran untuk memecahkan masalah rekonsiliasi yang sangat rumit di Indonesia. Dari skema-skema tersebut di atas tampak adanya tiga unsur penting dalam rekonsiliasi: pengungkapan kebenaran dan keadilan; pemberian rehabilitasi dan kompensasi kepada satu pihak; dan pemberian grasi kepada pihak lain. Kalau salah satu unsur tidak ada, rekonsiliasi bisa tidak akan terjadi.

Kiranya perlu digarisbawahi, bahwa dalam masalah rekonsiliasi nasional yang menyangkut pelanggaran HAM 1965-66 pemberian rehabilitasi dan kompensasi terlebih dulu oleh pemerintah kepada para korban yang tak pernah terbukti kesalahannya berdasarkan hukum, adalah sangat penting sekali, bahkan secara moral dan yuridis dapat dipertanggungjawabkan. Seyogyanya pemerintah memperhatikan hal tersebut secara serius.

Pengalaman Rekonsiliasi di Afrika Selatan menampakkan dengan jelas keberadaan ketiga unsur tersebut. Sehingga praktis dalam rekonsiliasi di sana berlaku impunity – bebas dari hukuman bagi mereka yang bersalah. Hal inilah yang agaknya bagi sebagian masyarakat kita sangat berat untuk diterima. Tapi apakah kita ingin selamanya menjadi tawanan sejarah?



Menurut hemat penulis setidak-tidaknya ada tiga syarat pokok untuk terbukanya pintu rekonsiliasi nasional:

Pertama, harus dicabut TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pencopotan kekuasaan Soekarno sebagai presiden. Sebab akibat dari pelaksanaan TAP tersebut Bung Karno beserta banyak pendukung-pendukungnya ditahan tanpa proses hukum. TAP tersebut tidak saja merupakan legitimasi kudeta Soeharto, tapi juga merupakan pelanggaran HAM.

Kedua, harus dicabut TAP MPRS No.XXV/1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya beserta ajaran marxisme-leninisme di Indonesia. Sebab pelarangan sesuatu ideologi adalah merupakan pelanggaran HAM seseorang dan bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Ketiga, semua peraturan-peraturan hukum diskriminatif terhadap para korban pelanggaran HAM 1965-66 harus dihapus secara tuntas dan konsekwen. Tanpa pecabutan peraturan-peraturan tersebut sama saja melanjutkan kesempatan tindakan pelanggaran HAM seperti telah terjadi di masa lalu.



Sangat menggembirakan bahwa delegasi Korban Pelanggaran HAM 1965-66 telah sukses dalam melaksanakan misinya di Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa. Tapi bagaimanapun juga kesuksesan tersebut baru merupakan keberhasilan awal yang perlu ditindak lanjuti dalam skala makronya yang penuh tantangan. Sebab kita melihat dan menyadari bahwa berdasarkan fakta-fakta dan kondisi yang ada di Indonesia dewasa ini masalah pelanggaran HAM 1965 ini masih terus menghadapi tantangan serius dari pihak oponen. Setidak-tidaknya fakta-fakta berikut ini akan memperkuat kesadaran dan memberikan gambaran yang lebih jelas bahwa dalam peta politik di Indonesia kekuatan Orba masih kuat di mana-mana (di Legislasi, Birokrasi, Yudikasi dan Ormas-ormas):

- Masih dipertahankannya sekuat tenaga TAP MPRS XXV/1966 oleh mereka, sebab dengan TAP inilah mereka akan melakukan sepakterjang politiknya, termasuk mengenai masalah korban pelanggaran HAM 1965-66.

- Diterimanya Pasal 90/g RUU Pemilu di DPR belum lama ini, di mana hanya anggota-anggota fraksi PDIP yang menentangnya, berarti suatu legitimasi atas diskriminasi hak warganegara mantan tapol/napol untuk dipilih sebagai anggota DPR (di pusat maupun daerah).

- Dalam masalah rekonsiliasi Wapres Hamzah Haz dengan tegas menyatakan bahwa “Tidak setuju memaafkan PKI, sebab menyangkut masalah ideologi” (Sinar Harapan 20/3/2003). Sesungguhnya logika akan bertanya: apakah si korban yang harus meminta maaf, apalagi tidak terbukti kesalahannya?



Jadi dari fakta-fakta tersebut, meskipun ada langkah sukses delegasi Korban Pelanggaran HAM 1965-66 di Jenewa, dan meskipun dalam Komnas HAM juga telah terbentuk Komisi yang menangani masalah HAM 1965, perjuangan untuk penyelesaian pelanggaran HAM 1965-66 belum jelas perspektifnya. Dengan demikian, kita masih memerlukan perjuangan yang berat dan panjang. Apalagi satu kenyataan bahwa di samping kekuatan Orde Baru masih kuat di mana-mana, kekuatan nasionalis-demokrat dan kekuatan kiri lainnya masih terus cakar-cakaran dan berantam satu sama lain. Ironis? Jelas ironis, tapi itulah kenyataannya. Tentu kekuatan Orba senyum-tertawa dengan puasnya. Semoga kekuatan anti Orde Baru menyadari perlunya persatuan perjuangan dan melakukan politik perjuangan yang tepat seperti diajarkan Bung Karno.





Nederland, 20 Mei 2003

*) Sekretaris Korwil PDI Perjuangan Nederland,
sumber : http://dev.progind.net/modules/smartsection/print.php?itemid=5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar